Sore itu Jisoo kembali masuk ke ruangan Suho, meski sebenarnya sudah merasa sangat tidak enak. "T-tuan Suho—"
"Mau ke mana lagi, Tuan Putri? Ini memang hotel, jadi kau bebas mau datang atau pergi kapan saja."
Jisoo tersenyum canggung. "Maaf, Tuan Suho, namun saya ada janji dengan adik saya."
"Maka seharusnya kau berpikir dulu sebelum membuat janji, Nona Hwang."
Jisoo menundukkan pandangan, lalu membungkuk. Berbalik berniat pergi.
"Tapi, baiklah. Kau boleh pergi. Namun, artinya jam kerjamu bertambah hari ini."
Jisoo kembali menghadap Suho. Membungkuk lebih dalam. "Terima kasih banyak, Tuan Suho." Memandang Suho dengan senyum penuh rasa terima kasih. "Terima kasih sekali lagi. Anda baik sekali."
"Oh, kau baru tau?"
Jisoo menaiki sepeda pukul tiga sore ini. Tidak berniat datang lebih awal. Namun, merasa Jennie pasti membutuhkan makanan kesukaannya yang dibeli di tempat biasa disebut hidden gem. Bukan karena jarak yang jauh sehingga Jisoo mengayuh dua jam sebelum waktu janji, tetapi sebab pembelinya mengantre panjang melebihi stok barang dijual.
Itu memang berlangsung lama. Dia mengantre cukup lama. Kembali menaiki sepeda menuju tempat janji mereka.
Ketika Jisoo mengenang kembali jalan hidupnya hingga usianya sekarang, memang ada beberapa momen yang membuatnya merasa ditenggelamkan sakit hati. Namun, selalu ada satu kalimat yang menyinari hatinya sehingga banjir itu cepat menguap.
Tunggulah sebentar lagi, masih ada Jennie.
Sesungguhnya seorang kakak punya satu keinginan yang tersimpan di hatinya. Berharap adiknya bisa lebih baik darinya.
Yeah. Beberapa adik yang beruntung mendapatkan kakak seperti itu.
Jemari Jisoo menekan rem sepeda. Menghentikan lajunya juga keramahan di wajah.
Tangan Jisoo menggenggam rem itu semakin dalam. Matanya tidak salah menyaksikan. Rasanya berbeda dari diduakan, tapi masih terasa seperti pengkhianatan.
Jisoo tidak akan pernah sakit hati atau merasa terkhianati ketika Jennie akhirnya mendapatkan cinta dari orang lain, andai orang itu bukan Bobby.
Mereka sudah pernah membicarakan ini. Jennie mengatakan sudah mengakhiri, namun kelihatannya memutuskan untuk merajutnya kembali.
Jisoo menahan diri untuk terus memperhatikan. Sangat berharap menemukan sedikit saja usaha Jennie menolak pelukan. Namun, terasa seperti menikam diri lebih dalam.
"Seperti inilah caramu membuktikan padaku kalau kau tidak membutuhkanku lagi. Kau memang orang pendendam yang kejam. Tapi aku tidak akan pernah menangis karena merindukanmu." Jisoo menutup mata pada kemungkinan lain. Tidak ada pertanyaan atau permintaan penjelasan, saat semua sudah jelas di depan mata.
_______________________
"Jeewon, sudah saatnya kah aku membawa Jisoo dan Jennie ke rumahku?"
Dari kursi tertinggi perusahaan yang masih didudukinya, Jeewon mengangkat wajah. "Bagaimana aku akan sanggup, Hyunjin noona?" Suara Jeewon diliputi getaran kecemasan. "Jisoo dan Jennie adalah putriku. Mereka berdua adalah alasanku ingin melanjutkan hidup setelah kepergian Seo Young."
"Kalau memang seperti itu, kenapa kau membiarkan Jisoo pergi? Kenapa kau membiarkan alasan hidupmu jauh darimu? Itu hanya mengarahkan pada satu hal, kau tidak menganggap mereka cukup berarti."
"Noona, coba tanyakan pada Jisoo, apa aku tidak berusaha menahan kepergiannya semalam? Semalam dia pulang ke rumah, aku tau dia hanya ingin menemui adiknya. Kukatakan padanya keributan ini tidak seharusnya terjadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Twins
Fiksi Penggemar[REMAKE VERSION] Pasti akan ada satu titik di mana kita semua dipaksa bersatu, benar-benar bersatu.