37. Puncak Komedi

23 3 0
                                    

Mobil hitam milik Septian ia parkir tepat di depan pintu kost Samudra, diikuti dengan mobil ayah yang dikendarai oleh ajudannya. Tentu saja, ayah tak sendiri ia pergi dengan dua ajudannya.

Pria paruh baya itu melihat sekeliling dengan pandangan menilai, menatap tempat yang di huni anak ketiganya ketika ia pergi dari rumah.

Beda halnya dengan Septian dan juga Sahara yang lumayan sering datang, mereka dengan santai mengetuk pintu kamar kost Samudra. Sedangkan ayah cuma berdiri dalam diam di belakang mereka.

"Sam, buka pintunya." Seru Septian dengan tangan terus mengetuk tanpa henti. Hingga beberapa saat kemudian pintu pun terbuka, menampilkan presensi Samudra yang acak-acakan dengan wajah sedikit pucat.

"Apa sih? Ganggu, tau nggak." Suara serak menyapa membuat kedua saudara meringis pelan. Sedangkan ayah tetap diam.

"Jadi..." Septian menatap samudra dari atas ke bawah, ".. Lo beneran sakit?"

Samudra menggaruk pantatnya sebelum mengangguk, ia masih tak sadar jika ada ayah di sana juga belum menyadari jika yang di depannya adalah saudara yang belum ia beritahukan kalau dirinya sakit.

"Kenapa nggak bilang?" Sahara bersedekap.

Menguap, Samudra kemudian memicingkan matanya sebelum menghela napas, "Siapa yang kasih tau kalian gue sakit?"

Bukannya malah menjawab, laki-laki itu justru melemparkan pertanyaan.

"Dari Asel, tuh bocah demen banget pasti di tanya-tanyain Hara." Ledek Septian sambil melirik adik perempuannya yang hanya memutar bola mata malas.

Samudra terkekeh serak, "Maaf, gue nggak ngabarin soal gue sakit. Gue kira cuma bentaran doang."

"Alesan. Ngomong aja takut disuntik." Cibir Sahara yang memang benar adanya. Dan Samudra hanya tersenyum menanggapi.

Manik sayu Samudra tanpa sengaja bertemu tatap dengan ayah. Tatapan yang semula santai seketika dingin. Alisnya menukik sedikit tajam.

"Kenapa anda di sini?" Sahut Samudra begitu saja. Intonasi suaranya semakin terdengar tak senang.

Sahara dan Septian yang tersadar pun mencoba mengalihkannya.

"Mending kita masuk dulu, Lo masih sakit ege." Sahara mencoba mendorong pundak Samudra, tapi sepertinya si empu ingin penjelasan lebih dengan berdiri tegap.

Ayah menghela napas, pria itu berjalan satu langkah ke depan, "Ada yang mau ayah omongin. Kamu bisa benci ataupun marah sama ayah, tapi ini penting dan ayah mau jelaskan semuanya."

Mendengar itu, entah mengapa Samudra sedikit bersimpati. Melihat wajah ayah berantakan juga tubuhnya sedikit kurus, kemungkinan besar menandakan jika ayah tak makan dengan benar selama ini.

Akhirnya setelah berperang dalam kepalanya yang semakin lama semakin pusing, Samudra akhirnya menghela napas dan berakhir mengangguk.

"Ayo masuk." Instruksi Samudra mendahului masuk.

Ayah dan anak-anaknya itupun akhirnya masuk, sementara dua ajudan ayah berdiri di kedua samping pintu kost Samudra.

Setelah pintu tertutup, ayah menelisik lebih dalam tempat yang ditinggali anaknya. Tatapannya berkeliling hingga terhenti pada Samudra tatkala merasa bersalah pada anaknya itu.

"Anda mau ngomong soal apa?" Sahut Samudra memecah keheningan. Anda dan buka ayah laki-laki itu memanggil. Entahlah, Samudra sedikit ragu menyebutkan dengan sebutan ayah.

Canggung. Suasana yang dapat diartikan. Septian dan Sahara hanya diam menunggu apa yang akan dikatakan ayah selanjutnya.

Ayah tampak menghela napas dan berkata, "Ayah salah, bahkan salah banget..."

Need (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang