Chapter 20 : Her Butler, Alert

60.9K 3.1K 118
                                    

Sepasang iris sewarna safir memandang jauh ke luar jendela, menatap ribuan butir hujan yang jatuh satu per satu. Tatapannya meredup, sebelum akhirnya mengatup sempurna. Membiarkan dinginnya hujan yang menembus jendela menyelimutinya.

Alice selalu menyukai hujan. Dingin dan tenang.

Ia menikmati setiap tetes air yang jatuh. Suanasa sendu yang ia sukai, seakan ia tengah melihat dan mendengar dunia sedang menangis di hadapannya. Menangisi keburukan-keburukan yang semakin lama semakin menguasainya.

Setidaknya itulah yang Alice pikirkan.

Ia juga menyukai suara hujan yang seakan menghipnotis, tenggelam dalam kesunyian yang membuatnya merasa nyaman.

"Akhir-akhir ini hujan turun semakin sering, dan semakin dingin. Bukan begitu, Nona?"

Suara seseorang yang melangkah mendekatinya membuat kedua mata gadis itu terbuka perlahan. Tatapannya masih sayu, dan ia tampak tak berniat untuk membalas pertanyaan yang memang tak membutuhkan jawaban itu.

"Mungkin sebentar lagi Anda akan melihat salju?" tutur sosok itu lagi ketika dirinya telah berdiri di sebelah sang gadis bermata biru.

"Salju ya...," gumamnya lirih, matanya masih menatap jauh ke luar sana sembari telapak tangannya menopang dagu.

"Mengapa Anda masih di sini? Kelas sudah berakhir beberapa waktu yang lalu."

"Hanya ingin," jawabnya masih bernada lirih. "Aku sedang ingin sendirian."

Alice memang masih berdiam di ruang kelasnya saat ini, meskipun jam dinding telah menunjukkan waktu tiga puluh menit melewati pukul lima sore.

"Apakah saya mengganggu?"

"Tidak."

Sepasang iris ruby itu mengerling menatap sang Nona. "Ada sesuatu yang mengganggu Anda?"

Masih terdiam sesaat, gadis itu kembali bersuara. "Kau bisa membacaku, kurasa aku tak perlu menjelaskan apa pun padamu."

Michael tersenyum. "Boleh saya bertanya?"

"Hm?"

"Mana yang lebih Anda sukai, hujan yang sedang turun, atau yang telah menggenang?"

"Pertanyaan apa itu?"

"Atau, mana yang lebih Anda sukai, salju yang sedang turun, atau yang telah mencair?"

Kembali terdiam, gadis itu tampak tak berniat memberi jawaban. Namun akhirnya ia kembali bersuara, masih tanpa mengubah nada bicaranya yang datar.

"Hujan dan salju ... keduanya sama. Aku suka yang sedang turun."

"Hm?"

"Sama dengan diriku, bukan? Datang sebagai sesuatu yang menakjubkan, hanya untuk sesaat. Kemudian hanya tinggal menunggu waktu untuk hancur dan menghilang," gumamnya seiring tatapannya yang semakin sayu.

"Mungkin segalanya akan lebih baik jika Anda melupakan semua hal tentang dendam Anda dan memulai awal yang baru," kata Michael setengah bergumam, entah apa maksudnya mengatakan hal itu.

"Bukankah hal itu yang terus mengganggu Anda? Bukankah pembalasan dendam hanya akan memuaskan Anda untuk sesaat? Suatu saat, cakar dan taring yang terus Anda asah bisa saja melukai diri Anda sendiri."

Alice tersenyum miring. "Hmph. Lucu sekali, mendengar hal itu dari orang yang paling menginginkan kematianku."

Michael kembali tersenyum, ia tahu sang Nona memang keras kepala.

"Aku tahu, dan aku memilih hidup untuk itu. Aku tak pernah menyesali apa yang kupilih," guman Alice lagi.

"Mari kita mengubah topik, Anda sudah mendengar tentang acara yang akan diadakan bulan depan?"

The Lady and the DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang