Chapter 32 : Her Butler, Look at the Past

53.2K 2.9K 125
                                    

Madam Ann's POV.

Dunia tak pernah adil.

Yang namanya kebahagiaan, kasih sayang ataupun cinta, itu tak pernah ada.

Kalaupun memang ada....

Semua itu bukan untukku.

Itulah yang terus kupikirkan, setidaknya hingga detik ini.

PRAAAANGG!!

Suara benda pecah juga teriakan-teriakan yang terdengar dari balik pintu kamar membuatku tersentak dari lamunan yang menguasai pikiranku sedari tadi.

Aku menutup erat mata dan telingaku, meringkuk menyembunyikan seluruh tubuhku di balik selimut yang kukenakan, berharap setidaknya dengan begitu, suara-suara menyebalkan yang kudengar tak lagi menembus telingaku.

Namun percuma.

Tak ada yang berubah.

Suara bentakan yang terdengar berat dari mulut ayahku, suara makian yang terlontar disertai isak tangis dari bibir ibuku, suara perabotan rumah yang pecah berkeping karena jatuh atau mungkin 'terlempar', semuanya masih dengan mudahnya menembus indera pendengaranku.

Membuatku kian muak.

Aku ingin pergi dari tempat ini.

Persetan dengan kedua orang itu! Untuk apa aku harus peduli sementara mereka melirikku saja tak pernah?

Aku sudah cukup dewasa untuk dapat mengurusi kebutuhanku sendiri. Aku bisa tinggal di mana pun ketika aku keluar dari sini. Bahkan mungkin, kolong jembatan atau hamparan kardus di sisi trotoar akan jauh lebih nyaman bagiku dibanding rumah ini.

Namun lagi-lagi, hal itu hanya sebatas anganku. Keinginan yang aku tahu tak akan pernah kudapat.

Karena aku tak boleh egois.

Mungkin aku bisa pergi sendiri, namun aku tahu keputusanku itu akan membuat seseorang menderita.

Krieeeett....

Aku menurunkan selimut yang menutupi kepalaku ketika kudengar suara pintu kamar yang memang tak terkunci terbuka perlahan. Dan dalam suasana remang kamar, aku mendapati sepasang iris ruby yang serupa dengan milikku menatap dari balik pintu.

Sosok anak laki-laki kecil dengan mata berkaca-kaca menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamarku, membuatku mau tak mau kini menyunggingkan segaris senyum untuknya.

"Ka-kakak...."

Aku bisa mendengar dengan jelas suaranya yang bergetar. Ia pasti juga tengah ketakutan karena terbangun oleh suara-suara 'menyeramkan' di luar. Yah, meskipun hal ini seringkali terjadi, entah kenapa kami tak pernah bisa terbiasa.

"Masuklah, Sebastian," panggilku sembari menyunggingkan senyum selembut mungkin untuknya.

Sebastian, adikku itu kemudian melangkah masuk dan menutup pintu, namun-

PRAAAANGG!!!

-suara benda pecah yang lagi-lagi terdengar membuat anak itu seketika berjongkok sembari menutupi kepalanya. Reaksi yang biasa ditunjukkan oleh siapa pun ketika mereka ketakutan. Isakannya semakin keras terdengar.

Aku segera bangkit dari kasur untuk menghampiri adik kecilku, menyejajarkan posisiku dengannya agar aku dapat memeluknya, menenangkannya. Setidaknya hanya itulah yang bisa kulakukan untuk anak itu di saat-saat seperti ini.

Benar, anak inilah alasan mengapa aku tetap bertahan untuk tinggal meskipun aku telah lama ingin pergi. Aku mungkin bisa bertahan hidup di luar sana, tapi dia?

The Lady and the DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang