"Itu tidak penting. Yang jelas, sekarang kita harus menolongnya."
"Tapi一"
Plakk!!
Aku hanya bisa terdiam ketika Lizzie tiba-tiba menampar pipiku tanpa peringatan.
"Lizzie?"
"Berhentilah menyangkal! Kita ini temannya, bukan?! Kita harus menyelamatkannya! Aku tak peduli apa posisimu di hadapan orang tua itu, tapi aku ingin kau ikut aku, dan aku memaksa!"
"...."
"Jika kau tak melakukannya untuk Ciel, maka lakukanlah untukku! Kau pernah berjanji bukan?!"
Ahh ..., benar. Aku ... sudah berjanji. Janji yang sudah lama sekali, dan dia masih mengingatnya?
Janji itu ....
#
"Siapa namamu?"
Bocah kecil itu menarik diri ke belakang tubuh kakaknya ketika seorang pria paruh baya menyapanya. Senyum ramah di wajah pria itu tampaknya tak cukup mampu untuk membuatnya luluh.
"Sebastian, jangan begitu," tegur gadis itu lembut sembari mengelus pelan pucuk kepalanya. "Ayo beri salam pada paman baik itu."
Dengan sedikit ragu, bocah yang dipanggil Sebastian itu perlahan mengintip dari balik tempatnya sembunyi. Sepasang iris ruby-nya menatap takut.
Ia benci orang dewasa. Baginya, semua orang dewasa adalah orang yang jahat, sebab selama ini, semua orang dewasa yang ia tahu selalu seperti itu.
Orang tuanya, para pengurus panti, mereka semua jahat. Itu yang dia tahu.
"Senang bertemu denganmu ..., Paman. Aku Sebastian," tutur bocah itu seadanya kemudian.
"Senang bertemu denganmu, Nak." Pria itu kembali tersenyum. Tangannya tergerak hendak mengusap pucuk kepala Sebastian, namun dengan cepat bocah itu kembali menarik diri ke belakang kakaknya. Lantas menatapnya dengan tatapan yang masih tampak waspada.
"Anne, bisa kau ikut aku sebentar?"
Suara wanita paruh baya yang sejak tadi juga berada di kamar yang kecil itu membuat gadis yang dipanggilnya Anne menoleh. Tanpa banyak bicara, wanita yang berpakaian seperti biarawati itu melangkah keluar dari kamar.
Anne menghela napas. "Tunggu di sini, ya. Aku segera kembali," katanya sembari mengusap kepala adiknya, kemudian melangkah keluar dari kamar. Menyisakan Sebastian dan pria yang sebelumnya mengajaknya bicara.
"Nak," tegur pria itu seramah mungkin.
"...." Dan di hadapannya, Sebastian menatapnya lekat. Tanpa ekspresi, dan tanpa reaksi.
"Yang tadi itu kakakmu?" tanya pria itu lagi, masih belum menyerah untuk mendapatkan perhatian bocah di hadapannya.
"Ya." Hanya jawaban itu yang ia dapati.
"Kau menyayanginya?"
"Ya."
"Apa kau suka tinggal di sini?"
"Tidak."
"Kenapa tidak suka? Apa karena tempatnya jelek?"
"Ya."
"...."
"...."
Canggung.
Pria itu tampak mulai kehabisan akal sementara bocah di hadapannya masih menatapnya tanpa ekspresi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lady and the Devil
FanfictionSeolah tak pernah puas akan luka yang telah ia torehkan di masa lalu, sang waktu terus menghempaskan gadis itu hingga hatinya membeku. Rasa sakit dan dendam ... membuatnya terjatuh kian dalam. Ia membenci ..., ia membunuh hatinya sendiri. Hingga seb...