Namaku Alice.
Alice Worth.
Yahh, setidaknya hanya itulah yang bisa kukatakan untuk memperkenalkan diriku. Sebab, sudah tak ada lagi yang tersisa dariku...
Aku... ingin bertanya, pada siapapun kau yang sedang menyimak kata-kataku saat ini.
Apakah kau percaya pada keajaiban?
Apa kau percaya... pada pertemuan yang ditakdirkan?
Aku tidak.
Ahh, sedikit lucu karena aku menjawab pertanyaanku sendiri, namun inilah aku.
Aku tidak percaya pada keajaiban.
Dan pertemuan yang ditakdirkan?
Hmph. Jangan membuatku tertawa. Tidak ada yang namanya pertemuan karena takdir. Manusia tak pernah benar-benar terhubung. Mereka semua hanya orang asing yang tak sengaja bertemu, dan kemudian terikat oleh memori.
Apa kau menganggapku kejam?
Aku berhati dingin?
Well, aku tak akan mangkir. Sebab benar itulah aku. Namun, ini bukan sepenuhnya salahku. Hidup yang membuatku menjadi seperti ini. Meski aku tak dapat mengingatnya dengan jelas, aku yakin... semuanya... berawal dari dua belas tahun yang lalu...
#
"Ice! Ice, kemarilah sayang!"
Sebuah suara menggema cukup keras, membuat seorang gadis kecil yang sedang memanjat kursi ruang makan menoleh ke asal suara. Ia lantas mempercepat pergerakannya, meraih dua butir apel dari atas meja sebelum turun kembali dari kursi yang cukup tinggi itu dan berlari kecil ke arah suara itu berasal.
Langkah kecilnya membawa ia ke ruang tamu. Matanya menatap heran, melihat ayah dan ibunya berdiri bersama seorang gadis yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Gadis itu, Alice, bersembunyi di balik tubuh ibunya ketika akhirnya ia bergabung. Tatapan matanya masih tertuju pada sosok yang menarik perhatiannya itu.
"Ice sedang apa?" tanya sang ibu lembut.
Alice menatap sang ibu dengan tatapan polosnya, "Makan apel," jawabnya kemudian.
Mr. Vincent, ayah dari Alice mendekati gadis kecilnya. Ia mengelus pucuk kepala Alice.
"Ini Alice, usianya 5 tahun. Kuharap kau bisa akrab dengannya," kata pria itu pada gadis di hadapannya, sementara Alice menatap keduanya bergantian ketika ia merasa bahwa mereka tengah membicarakan dirinya.
"Ice, itu Anne. Mulai sekarang, dia akan menjadi temanmu." Mrs. Eliza, ibu gadis itu berujar lembut kepada putrinya. Kembali Alice menatap lekat sosok yang disebut sang ibu bernama Anne itu.
Alice kecil tersenyum manis ketika Anne melempar sebuah senyuman untuknya
"Bicaralah padanya," ujar Mrs. Eliza pada Anne sembari mendorong lembut tubuh Alice.
Anne tampak canggung. Ia berjongkok menyamakan posisinya dengan Alice, "Namaku Anne, bolehkah aku menjadi temanmu, Nona?"
Gadis kecil itu berkedip polos, sedikit bingung pada pertanyaan yang ia rasa ditujukan padanya itu.
"Namaku Ice, bukan Nona," celetuknya kemudian, membuat semua orang di ruangan itu terkekeh kecil karena jawaban polosnya itu.
Sekarang Alice bingung harus bicara apa lagi, sampai kemudian ia menatap dua butir apel di tangannya. "Kau mau?" katanya sembari menyodorkan apel-apel itu pada Anne.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lady and the Devil
FanfictionSeolah tak pernah puas akan luka yang telah ia torehkan di masa lalu, sang waktu terus menghempaskan gadis itu hingga hatinya membeku. Rasa sakit dan dendam ... membuatnya terjatuh kian dalam. Ia membenci ..., ia membunuh hatinya sendiri. Hingga seb...