1

969 24 0
                                    

Suasana di dapur hari ini lebih sibuk dari biasanya. Entah apa yang terjadi pada hari ini di luar dapur , tapi hari ini cukup melelahkan untuk ku. Belum lagi chef yang terus berteriak karena pesanan yang di masak terlalu lama. Di tambah beberapa pelayan yang masuk ke dapur untuk menyampaikan keluhan pelanggan. Membuat Chef yang mengontrol dapur tempat ku bekerja semakin panas.
Sampai akhirnya jarum pendek dan jarum panjang berhenti secara bersamaan di angka dua belas. Waktu kami bekerja telah usai. Para koki berjalan menuju ruang loker, bergegas untuk pulang. Hanya aku yang tinggal di dapur untuk membersihkan wajan dan alat-alat masak yang telah mereka pakai.
Aku mulai terbiasa dengan pekerjaan ini. Dari datang ke restoran di pukul sebelas pagi dan pulang pukul satu pagi. Sebelumnya aku tidak pernah bekerja seperti ini. Tapi keadaan memaksaku untuk melakukannya.

Waktu dengan cepat berlalu. Aku segera mengambil berangku di loker dan bergegas keluar dari hotel melalui pintu belakang dan memanggil taksi yang kebetulan lewat. Untung ada taksi yang lewat. Kalau tidak , bisa ku bayangkan betapa tersiksanya aku jika harus berjalan dari hotel sampai ke apartemen yang bahkan tidak bisa ku anggap rumah itu. Tinggal bersamanya selama enam bulan membuat ku merasa ingin kabur. Tapi hanya itu pilihan yang ada dari pada aku harus tinggal di rumah sempit bersama orangtuaku.

Gedung-gedung yang ku lewati sudah mulai gelap. Aku turun dari taksi dan masuk ke dalam lobby apartemen. Aku masukkan kartu ke dalam mesin detektor di dalam lift. Tombol bernomor dua belas pun menyala dan lift bergerak menuju lantai dua belas.
Aku berjalan menyusuri lorong menuju pintu bernomor 1208. Aku masukkan kartu yang ku pegang ke dalam mesin detektor yang ada di handle pintu lalu membuka pintu setelah detektor itu berbunyi dan menyala lampu berwarna hijau.

Apartemen bernuansa hitam dan coklat dengan gaya minimalis menyambutku , membuat ku merasa nyaman. Tapi itu tidak bertahan lama sampai aku melihat sosoknya muncul untuk duduk di ruang tengah dan menonton TV. Ia hanya menatapku dan dengan gaya masa bodoh, ia langsung duduk di atas sofa.

"Hari ini kau tidur di dalam saja. Aku mau tidur di luar hari ini."

Tatapannya sama sekali tidak beralih dari televisi yang ditontonnya.
"Tapi chef..."

"Sudah ku bilang, aku mau tidur di luar hari ini." Ia berhasil membantahku. Aku tidak berani berkata-kata lagi. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang yang sebenarnya adalah ranjang miliknya. Kamar di apartemen ini hanya satu. Tapi untungnya ada kasur lain di kamar ini. Aku benar-benar tidak sudi untuk tidur satu ranjang dengannya.
Aku ingat betul pertengakaran pertama kami waktu aku pertama kali sampai di apartemen ini. Saat itu hanya ada ranjang dan tidak ada kasur lainnya.

"Asal kamu tahu , aku hanya menerima mu disini karena aku tidak mau kehilangan pekerjaanku ! "

Sebaiknya enam bulan itu cepat berlalu. Aku tidak suka hidup dengannya. Apalagi sikapnya yang dingin membuatku semakin tidak nyaman. Kalau saja tempat yang akan menjadi rumahku itu tidak di renovasi, mungkin aku tidak akan disini. Aku benar-benar iri dengan perempuan yang masuk ke dalam pekerjaan ini bersamaku. Kami sama-sama mencontreng bagian kalau kami membutuhkan tempat tinggal
Tapi ia berhasil mendapatkan apartemen dengan seorang kepala pelayan wanita yang sudah jelas lebih baik darinya. Sementara aku , karena sudah penuh, aku ditempatkan disini. Benar-benar sial.

***

Dering telepon berhasil membangunkanku. Rasanya menyebalkan kalau aku harus bangun sepagi ini hanya karena sebuah telepon. Dengan mata yang masih tertutup, aku meraba-raba meja yang ada di samping kasurku untuk menggapai handphone ku.

"Halo ! Nak , gimana kabar kamu ?" Baru dengar saja aku langsung tahu pemilik suara itu pasti ibu.

"Baik bu. Ibu sendiri gimana ?" Akhirnua aku harus bangun dari tidurku.

"Baik. Kapan kamu bisa pulang ke rumah nak ? Kita kangen sama kamu." Gagasannya kali ini membuat mataku terbuka sepenuhnya. Aku benar-benar tidak tahu kapan aku bisa pulang. Rasanya tidak ada hari libur bekerja disini.

"Nanti kalo ada waktu, aku pasti pulang bu. Ibu udah terima uang yang ku kirim kemarin ?" Kali ini aku mengalihkan pembicaraan.

"Udah. Udah ibu pake buat bayar rumah susun." Suaranya terdengar senang.

"Bagus deh bu kalo gitu. Aku harus pergi sekarang. Baik-baik ya bu. Nanti aku telepon lagi." Ucapku menutup telepon. Mendengar suaranya hanya membuatku semakin ingin pulang. Tapi rasanya tidak mungkin untuk kembali mengingat tidak ada tempat yang cukup untuk kami tidur.

Waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak biasanya aku bangun sepagi ini kalau bukan karena telepon. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Aku membasuh diriku sampai bersih dan berniat untuk membuat sarapan. Tapi langkah ku terhenti ketika melihatnya tertidur kedinginan di sofa. Entah kenapa ada rasa peduli yang timbul dalam hatiku.

Dengan ragu aku mendekatinya. Aku mengambil selimut yang jatuh di bawah sofa lalu meletakkannya di atas tubuhnya. Tapi tiba-tiba ia membuka matanya. Membuatku ketakutan setengah mati. Takut kalau ia akan marah akan apa yang baru saja aku lakukan. Padahal aku baru saja merapikan selimut yang baru ku letakkan di atas tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan ?" Tanya nya dengan suara pelan dan nada yang datar. Sebenarnya kalau di perhatikan , ia adalah sosok yang tampan. Apalagi dengan matanya yang abu-abu serta tubuhnya yang cukup atletis. Tapi sikapnya yang digin merusak ketampanannya.

"Maaf chef. " hanya kata itu yang dapat terucap dari mulutku dan aku langsung meninggalkannya menuju dapur. Aku membuka sebuah plastik berisi roti tawar untuk membuat roti bakar dengan telur yang membalutinya.

"Kau yakin tidak akan terjadi kebakaran kali ini ?" Mungkin tidak. Aku sama sekali tidak tersinggung kali ini. Mengingat aku hampir membakar apartemen nya ketika pertama kali memasak di dapurnya. Tidak heran jika ia menanyakan hal itu. Lagipula, itu pertama kali ia menanyakannya sejak kejadian itu.

"Semoga tidak chef ." Sebenarnya aku sendiri ragu dengan jawabanku. Entah kapan ia sudah berada di dapur , ia mendesakku tanpa bicara agar aku menjauh dari kompor. Posisi ku kembali digantikannya untuk... entah ke berapa kalinya sejak kebakaran kecil itu terjadi.

"Chef..." aku tidak terima kalau ini terus terjadi. Bukan jawaban tapi hanya tatapan yang ku terima darinya. Tatapannya selalu berhasil membuatku diam, tidak berani mengelak.

"Tolong ambil roti tawar dan telurnya lagi." Ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Dengan cepat aku langsung mengambil apa yang di mintanya. Baru saja ia akan mengambilnya, handphone nya yang ada di meja ruang tengah berdering. Dengan wajah terpaksa ia mengembalikan posisiku yang tadi di ambilnya lalu ia berlari untuk mengangkat telfon.

"Apa ? Hari Rabu ?!" Ia terdengar terkejut mendengar apa yang di katakan telfon. Aku menjadi penasaran dengan apa yang akan terjadi besok ketika ia menyebut hari Rabu yang adalah hari libur kami, para koki. Walau aku bukan koki.

Meskipun penasaran aku tidak berani menanyakannya. Ia tidak akan menjawabnya. Aku tahu itu.

***

Ps :
Hi Readers ! Aku termasuk baru disini. Sebelumnya aku pernah bikin cerita juga, tapi gak pernah aku masukin kesini. ini cerita romance ke empat yang aku buat dan pertama kali nya aku post. Semoga kalian enjoy. Tolong kritik dan sarannya.dan jangan lupa di vote yaa :)

Chapter berikutnya akan di post setiap hari Senin , Rabu, Jumat. Thank you









"Being Yours"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang