Ia terus memegang erat tanganku sampai keluar dari restoran , bahkan sampai kami kembali berdiri di depan lobby.
"Chef ? " aku berharap ia menjelaskan semuanya padaku. Pergelangan tangan ku terasa perih setelah dipegang nya. Ia memang tidak punya sentuhan yang lebih halus sepertinya.
"Jangan ceritakan apapun tentang hal ini. Anggap hal ini tidak pernah terjadi." Ujarnya sambil mengeluarkan handphone nya. Entah apa yang ia lakukan.
"Chef..."
"Anggap tidak pernah terjadi apa-apa. Sebaiknya kau pikirkan untuk acara sore nanti." Nada suaranya mulai tinggi. Aku diam. Tidak berani bertanya lagi. Tapi pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan dalam benakku. Mungkin memang sebaiknya aku melupakannya.
Beberapa lama berdiri di lobby bersamanya , hanya dengan diam membuatku merasa ingin pulang dengan taksi dan meninggalkannya. Tapi sayang nya aku tidak membawa cukup uang untuk itu.
"Ayo masuk ke dalam mobil. Kita harus siap-siap kan ?" Senyum di wajahnha kembali terlihat ketika mengajakku masuk ke dalam mobilnya yang baru saja datang. Apa mau nya kali ini. Senyum nya mencurigakan.
"Tapi chef..." bukannya menjawab ia malah memberikan tangannya padaku, berharap aku mengambil tangannya. Itu semua terlihat dari wajahnya. Sebenarnya aku ragu. Tapi dari pada aku tidak pulang , aku menyambut tangannya dan membiarkannya membawaku masuk ke dalam mobil.
Kali ini ia tidak menyetir. Ia duduk di belakang , tepat di sampingku dan meminta supir yang berseragam persis seperti pelayan di hotel tempatku bekerja untuk mengantar kami ke apartemennya.
"Sebenarnya , Jason itu teman lama ku. Tolong lupakan semua dan semuanya akan baik-baik saja." Kali ini bicaranya kembali dingin seperti biasanya. Rasanya aneh ketika ia bisa memerani dan merubah dua karakter yang berlawanan hanya dalam hitungan detik . Tidak banyak bicara, aku hanya mengangguk. Ia membalasku dengan senyum tipis.
Entah kenapa , melihat senyum itu membuatku merasa nyaman. Apalagi jika mengingat tindaka-tindakan baiknya padaku. Tapi aku tidak boleh menyukainya. Tidak. Tidak boleh.
***
Keadaan berubah menjadi sibuk di dalam dapur. Berita kalau tamu dari Inggris itu sampai di hotel , memaksa kami harus mulai memasak kecuali aku. Aku terus sibuk mondar-mandir mengambilkan bahan-bahan yang diperlukan para koki. Sampai chef memanggilku dan mengganti tugasku.
"Kita tidak punya banyak waktu lagi. Kamu dan Ben bawa botol-botol wine itu keluar dan layani mereka. Aku tidak mau dengar protes dari pelanggan hari ini. Kalian dengar ?" Ucapnya sambil terus memasak tanpa melihat ke arahku dan Ben, koki yang bertugas menyiapkan dessert.
"Ya chef !" Jawab ku dan Ben. Kami mengambil botol wine dan dengan gugup keluar dari dapur dan mulai mendatangi meja-meja yang ada untuk mengisi gelas mereka yang kosong. Aku melayani meja di bagian sebelah kiri dan Ben bagian sebelah kanan.
Jantungku berdebar sangat kencang. Tidak ku sangka akan menjadi segugup ini. Seluruh tubuhku gemetar. Apalagi ketika aku akan menuangkan wine di setiap gelas dari sekian gelas yang harus ku isi. Aku bisa merasakan getarannya. Bahkan sampai di meja ketiga , aku masih gemetar. Entah apa yang terjadi padaku. Padahal sudah sekian meja yang ku layani.
Baru saha akan berpindah dari meja ketiga ke meja ke-empat , aku merasakan sentuhan lembut di pundakku. Refleks aku menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang menyentuhku.
Wajahnya tampan , pakaiannya rapi dengan dasi berwarna hijau dan setelah jas berwarna coklat muda yang terlihat cukup berkelas.
"Apa kau baik-baik saja ?" Tanya pria itu lembut dengan senyum di wajahnya. Tidak pernah aku diperlakukan selembut ini semenjak aku bekerja di hotel ini. Apalagi dengan seorang tamu sepertinya.
"I.. iya. Aku baik-baik saja." Aku menjadi takut. Entah kenapa dan mengapa , tapi tiba-tiba perasaanku berubah menjadi takut. Terutama takut membuat kesalahan.
"Eugh.. aku lihat kamu gemetar. Jadi.. aku.. eum.. jangan gugup." Senyum itu kembali terlukis di wajah laki-laki itu setelah bicara terbata-bata. Aku hanya mengangguk dan dengan cepat melanjutkan pekerjaanku saat melihat chef dan para koki sudah mulai keluar dari dapur dan akan menyajikan hidangan yang sudah mereka masak.
"Sajikan masakan yang masih ada di dalam dapur ke atas meja tamu yang masih kosong." Ucap Sam sebagai orang terakhir yang sempat berpapasan dengan ku. Aku hanya mengangguk dan segera melakukan yang di katakannya.
"Tadi kenapa ?" Tanya Ben yang juga mengambil beberapa piring yang ada di atas meja chef untuk di sajikan. Nada bicara nya seolah-olah dia peduli padaku.
"Nggak. Gapapa." Kenapa ia tiba-tiba peduli padaku ? Tanpa basa basi lagi dengannya, aku mengambil piring-piring itu semampuku dan meninggalkan Ben di dalan dapur. Sebenarnya itu bukan apa-apa. Tapi , aku hanya tidak suka kalau ada orang yang pura-pura peduli padaku padahal hanya untuk memenuhi rasa penasarannya. Aku bahkan tidak dekat dengannya.
Setelah semua tamu telah mendapatkan makanan pembuka yang sebelumnya di masak para koki yang bertugas untuk makanan pembuka, dapur kembali sibuk untuk menyiapkan makanan utama.
Keadaan itu berakhir setelah makanan penutup disajikan. Para koki kecuali aku , duduk di lantai , membicarakan penampilan para tamu dari Inggris itu. Sementara aku harus mencuci dua puluh lima piring dan dua puluh lima pisau juga garpu kotor yang telah digunakan para tamu.
Di tengah kesibukkanku , chef tiba-tiba menghampiriku. Ia berdiri di sampingku seperti memperhatikan pekerjaanku. Membuat ku merasa tidak nyaman.
"Apa yang di bicarakan Nicholas di depan tadi ?" Nicholas ? Aku tidak pernah mengenal nama itu sebelumnya. Nada bicaranya seperti cemburu dan tatapanjya mencurigakan. Tapi rasanya tidak mungkin kalau dia cemburu.
"Maaf chef . tapi aku tidak pernah bicara dengan orang yang bernama Nicholas baru-baru ini." Ia tertawa tidak percaya. Semua mata mulai tertuju padaku dan chef.
"Ayolah. Jangan bercanda. Karena aku sedang tidak ingin main-main saat ini." Tatapannya tidak terbaca. Sayangnya aku juga tidak ingin bercanda dengannya. Aku sama sekali tidak tertarik. Aku hanya diam. Aku takut kalau ia akan marah. Tapi aku yakin ia akan lebih marah kalau aku tidak menjawabnya.
"Apa orang yang kau maksud Nicholas itu, oranh sepantaran mu dengan pakaian jas rapi yang menghampiriku setelah aku menuangkan wine di mejanya ?" Ucapku terbata-bata. Ku rasa , lebih baik aku mengatakan itu dari pada aku diam. Kali ini aku memberi tatapan serius agar ia tahu kalau aku memang tidak tahy siapa yang disebut nya sebagai Nicholas.
"Ya. Dia yang ku maksud." Ucapnya tidak senang. Aku meletakkan piring yang sejak tadi ku pegang karena akan ku cuci ke dalam wastafel.
"Dia hanya bertanya apakah aku baik-baik saja dan memintaku untuk menyajikan makanan lebih cepat." Tidak kusangka aku baju saja mengatakan kebenaran yang disertakan kebohongan di belakangnya. Ia tidak boleh tahu kali aku gugup soal itu.
"Lalu jawab mu ?" Kelihatannya ia tidak percaya dengan apa yang ku katakan.
"Aku bilang 'sebentar lagi makanan akan di sajikan.' " aku berusaha mengatakannya dengan penuh keyakina dan sengaja melanjutkan pekerjaanku agar ia tidai bertanya lagi.
"Aku anggap itu selesai." Ia berjalan meninggalkan ku.
***
Ps :
terima kasih buat kalian yang udah baca "Being Yours". tolong di vote and comment yaa.. :) thank you.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Being Yours"
RomanceSeorang perempuan yang sangat hancur harus menyamar menjadi orang lain untuk melanjutkan hidupnya, akhirnya bertemu dengan seorang pria yang berhasil membawa kembali cahaya ke dalam kehidupannya yang gelap. Namun.. itu semua hanya sementara. Seorang...