Stevi pov
Di dalam mobil, aku langsung menanyakan rasa penasaranku tentang apa yang dia berikan kepada Bella.
"Kamu ngasih apa ke Bella?" Tanyaku dengan nada sedikit jutek.
"Ihh kamu mau tau banget?" Jawab Levin menggodaku.
"Leviiiiinnnaaaaaaaa!!!!!"
"Apa bosku yang galak?"
"Jawab pertanyaan aku!"
"Kok kamu jadi judes sih Stev?"
"Abis kamu bikin darahku naik"
"Aku cuma kasih kotak musik buat nemenin Bella, aku pikir itu cocok buat pribadinya dia yang lembut. Kalo kamu mana cocok dikasih kotak musik kamu aja gak ada lembut-lembutnya" Jawabnya enteng.
Ini memang Levin yang terlalu jujur atau memang dia tidak peka sama sekali dengan perasaanku?
Hey, menurutmu aku bisa biasa saja melihat kekasihku memberikan hadiah kepada wanita lain?. Aggrrhh, ingin sekali rasanya membenturkan kepala Levin ke dashbord mobil.
"Oh."
"Jutek."
"Enggak."
"Nyesel aku ngomong."
Dan hening~
Aku hanya fokus melajukan mobil entah kemana, sedangkan Levin seperti sedang memikirkan sesuatu. Pandangannya kosong menghadap luar jendela. Cemburu? Pasti. Marah? Iya. Mau memaki? sepertinyabisa. Kesal rasanya dengan manusia di sebelahku ini bicaranya tidak pernah disaring dulu. Dia pikir dia sedang berbicara dengan siapa? Aku pacarnya, tapi dia bisa sesantai itu dia bicara bahwa dia baru saja memberi sebuah kotak musik ke Bella. Tapi apa gunanya juga aku cemburu sama Bella? Toh Bella juga straight, aku cuma agak ragu aja sama kesetiaan pacarku ini.
***
Levina pov
Aku tau Stevi pasti kesal karena aku memberikan hadiah tanpa sepengetahuannya ke Bella. Tapi ini lah aku, yang cuek dan sesuka hatiku walaupun aku punya pacar sekalipun. Bukannya tidak memikirkan perasaan Stevi, tapi aku berusaha untuk tidak berbohong kepada pasanganku.
Seperginya Bella ke Surabaya, Aku yang menggantikannya untuk memimpin kafenya Stevi. Agak canggung sebenernya, karena aku tidak biasa dan merasa tidak enak hati dengan karyawan Stevi yang lain, terutama Tata yang sudah lama ikut dengannya. Tapi jika Bosku itu sudah berkehendak, tidak ada yang bisa bilang tidak.
Rutinitas yang masih sama, mengecek semua data di back office dan masih turun langsung untuk membuat minuman sendiri, meski Stevi berniat untuk mencari barista lain tapi aku menolaknya untuk kali ini. Aku memintanya untuk tetap menjadikan aku baristanya juga. Dan Stevi pun tahu jika semua kemauanku tidak bisa dia pantang.
Sore ini tidak terlalu ramai tamu yang datang, namanya juga dunia kuliner ada pasang surutnya. Setelah membuatkan Stevi coffee latte kesukaannya, aku membawakannya kepada Stevi yang sedang duduk menatap laptopnya.
Aku mematung melihat apa yang sedang ada di depanku sekarang. Rasanya gelas yang ada di tanganku ini ingin ku lemparkan ke arahnya. Tapi rasanya sakit, sangat sulit untuk menggerakkan seluruh anggota badanku. Dia memang tidak melihatku karna aku berada dibelakangnya.
1 detik ...
2 detik ...
3 detik ...
Dan dia membalikkan badannya dan reflek menutup laptopnya, sedikit ada pergerakan mengusap matanya. Terlihat matanya berkaca-kaca melihat foto 2 manusia yang sedang dimabuk cinta. Ya, aku yakin dialah yang bernama Moza. Ternyata dia memang masih belum bisa melupakan mantan terindahnya itu. Lalu harus apa aku sekarang?
"Dari kapan kamu disitu babe?" Nada suaranya agak sedikit tergetar, aku yakin disudah menyiapkan alasan untuk menjawab pertanyaanku.
"Beberapa detik yang lalu." Jawabku dingin dan masih ada di posisi yang sama.
"Sini duduk"
"Gak usah Stev, aku cuma mau ngasih ini aja." Aku meletakan gelas tepat di samping laptopnya, dan aku kembali pada pekerjaanku.
"Tunggu Lev!" Dia meraih tangganku, menahannya agar aku tak meninggalkannya.
"Aku masih ada kerjaan, kamu juga lagi sibuk banget kan? Aku gak mau ganggu"
Stevi terdiam, dan aku tetap pergi untuk melanjutkan pekerjaanku lagi, dengan perasaan yang penuh amarah, aku menahan segala emosiku untuk tetap berkonsentrasi.
Sampai akhirnya jam pulang datang, aku segera berlari menuju parkiran sebelum Stevi menghalangiku lagi. Aku kendarai motorku secepat mungkin, aku tak ingin kembali ke rumah karna aku yakin stevi akan mendatangiku. Pada akhirnya aku pergi ke tempat yang semua orang takkan bisa menemukanku.
Stevi pov
Aku kaget melihat Levin yang sudah berada di belakangku. Itu tandanya dia melihat semua apa yang aku lihat? Melihat semua foto-fotoku bersama Moza. Betapa bodohnya aku. Aku terlalu hanyut dengan perasaan rindu yang amat sangat menyiksa ini.
Levin langsung berubah 180 derajat setelah kejadian barusan, bahkan dia meninggalkanku begitu saja. Mungkin aku akan membicarakan semunya ke dia setelah pulang kerja nanti.
Sepulang kerja
Aku terlambat, Levin sudah pulang. Aku coba susul ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, aku hanya bertemu dengan Mamanya dan dia bilang Levin izin tidak akan pulang malam ini dan tidak bilang mau kemana. Ya Tuhan kenapa jadi seperti ini? Aku rasa kata maaf pun sudah tidak ada gunanya.
Aku mencoba untuk menghubungi Levin tapi nihil, ponselnya gak aktif. Mungkin besok aku akan coba hubungin lagi, mengingat ini sudah hampir tengah malam. Semoga Levin baik-baik saja dimana pun dia sekarang.
***
Saat hati telah memilih
Sebuah pilihan yang tidak dipilih akan lebih kuat
Lebih menang karna semua meninggalkan kenangan
Bodoh, itu cuma kenangan
Dan sayangnya aku kalah oleh kenangan
Biarlah mungkin aku akan bernasib yang sama
Menjadi kenangan walau bukan yang terindah seperti dia yang selalu kau kenang
![](https://img.wattpad.com/cover/40135653-288-k276753.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Coffee (Completed)
Genç KurguKetika sebuah perasaan diibaratkan dengan secangkir kopi. Tak selamanya kopi itu pahit dan tak selamanya rasa itu manis Semua tergantung jenis kopi dan sebanyak apa gula yang ditambahkan.