Levina pov
Semenjak kejadian beberapa bulan lalu, aku dan Stevi sibuk dengan urusan kami masing-masing. Dia dengan pekerjaannya dan aku juga sibuk dengan pekerjaanku yang baru. Aku memang sempat ke Surabaya bertemu dengan Bella, hanya 2 hari aku di sana. Menceritakan semua kejadian yang aku alami bersama Stevi. Dan akhirnya Bella juga yang memintaku untuk segera kembali ke Jakarta padahal tadinya Aku mau menetap di sana.
Flashback
"Jadi apa sekarang rencanamu Lev?" Tanya Bella sambil menikmati minumannya di depanku.
"Aku bingung dengan perasaanku sekarang Bel, aku tidak tau sebenarnya apa mauku saat ini." Jelasku.
"Kamu memutuskan hubunganmu dan Stevi hanya karna kamu terlalu cemburu dengan Moza? Kamu sadar gak kalo kamu itu egois lev? Aku tau Stevi memang belum bisa melupakan masa lalunya dengan Moza. Terlalu banyak kenangan mereka yang sulit Stevi lupakan lev. Perjuangan Stevi yang dibenci oleh keluarganya demi bersama Moza, memulai usahanya dari nol. Harusnya sekarang kamu membantu dia untuk keluar dari masa-masa terburuknya karna sudah kehilangan Moza, lev. Bahkan sampai detik ini, hubungan Stevi dengan kedua orang tuanya masih tidak baik-baik aja." Ucap Bella panjang lebar.
"Tapi aku pun memiliki rasa itu untukmu Bel, apa kamu lupa dengan perkataanku bahwa aku juga menginginkan kamu tapi aku tidak bisa?" Sahutku dengan sedikit nada tinggi kepadanya.
"Aku ingat, sangat ingat lev. Aku pun merasakan perasaan yang sama saat itu, tapi makin kesini aku rasa itu hanya sebatas mengagumimu, tidak lebih. Perasaan Stevi jauh lebih besar dari apa yang kamu bayangkan Lev. Aku yakin, ini hanya perkara waktu. Mungkin kalian terlalu cepat untuk memutuskan, tapi pada akhirnya kalian akan sama-sama mengerti"
Flashback end
Semenjak perbincangan dengan Bella waktu itu, aku sedikit tersadar bahwa aku dan Bella memang tidak bisa bersama, belum lagi perasaanku terhadap Stevi yang makin lama sepertinya makin dalam. Aku merindukannya, kita masih berkomunikasi dengan baik, tapi sangat sulit untuk bertemu.
Sekarang di sinilah aku, di kedai kopi yang lumayan ramai setiap harinya.
"Lev, macchiatonya satu sama flat whitenya satu ya."
"Siap, mau seratus gelas juga gue jabanin hahaha."
"Gaya lo bikin seratus, bikin sepuluh aja lo udah keteteran."
"Belicik anet sih likoooo, nih macchiato sama flat whitenya."
Dia Riko, laki-laki pertama yang berani menyatakan cintanya buatku. Entah apa yang dia rasakan, bisa-bisanya naksir sama cewek tomboy plus cuek sepertiku. Tapi sebelum Riko menyatakan cintanya, dia sudah mengetahui tentang orientasi seksualku yang berbeda dengannya dan dia menerima seburuk apa pun diriku, tapi sayangnya aku tidak bisa menerima bahkan tidak tega menyakiti lelaki sebaik Riko.
Jam menunjukkan pukul 10 malam dan tandanya kedai ini juga harus tutup. Di jalan menuju parkiran terlihat Riko yang sedang menunggu seseorang.
"Nungguin siapa ko?" Sapaku pada Riko yang sedang duduk di Motornya.
"Nunggu lo lah, siapa lagi?" Ucapnya santai.
"Ngapain nungguin gue? Biasanya juga langsung pulang."
"Gak apa-apa sih, mau nganter lo balik aja."
"Gue bawa motor om Riko, lagian kan rumah kita kan beda arah."
"Yaelah masih cacu aja, gue ikutin dari belakang deh"
"Terserah dikau sajaa." Jawabku menyerah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Coffee (Completed)
Teen FictionKetika sebuah perasaan diibaratkan dengan secangkir kopi. Tak selamanya kopi itu pahit dan tak selamanya rasa itu manis Semua tergantung jenis kopi dan sebanyak apa gula yang ditambahkan.