Memory Of Moza

2.7K 252 2
                                    

Levin Pov

"Aku mau kita pacaran." Pinta Stevi padaku.

Sumpah aku shock mendengarnya. Aku tidak menyangka bahwa akan secepat itu dia bisa mengungkapkan perasaannya. Bahkan baru kemarin kita saling kenal. Memang tidak munafik bahwa laki-laki normal saja pasti langsung menerima ajakan perempuan perfect seperti Stevi. Tapi aku ragu, dan aku lebih memilih pergi meninggalkannya sendiri di kedai itu.

Aku langsung kembali ke kafe dan kembali ke pekerjaanku. Bella yang sedari tadi melihat kedatanganku, langsung menghampiriku.

"Kenapa Lev? Kok balik istirahat malah bad mood gitu?" Tanya Bella khawatir.

"Gak apa-apa kok Bel." Jawabku dengan senyum terpaksa.

"Ok kalo gitu, jangan cemberut kerjanya. Nanti pelanggan malah kabur gara-gara ngeliat kamu judes mukanya." Ucapnya menghiburku.

Aku pun tersenyum mendengar perkataannya, benar yang Bella bilang. Mood ku ini akan mempengaruhi juga akan rasa kopi yang aku buat nanti. Aku harus profesional dan tidak perlu terlalu memikirkan kejadian tadi.

Aku melihat dari kejauhan Stevi datang dengan wajah datarnya, dia menghampiriku dan menarikku untuk masuk ke ruangannya.

"Kenapa kamu pergi gitu aja? Kamu gak sopan udah ninggalin aku tadi."

"Maaf mbak Stevi, tapi saya gak bisa jawab kemauan dari mbak Stevi tadi." Ungkapku jujur.

"Aku yang harusnya minta maaf. Gak seharusnya aku ngomong kayak tadi. Tapi Aku minta jangan ngejauhin aku apa lagi untuk berhenti kerja dari sini." Lirihnya.

"Aku gak mau kamu pergi, aku juga gak mau kehilangan sosok Moza yang ada di diri kamu. Kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku begini setelah Moza, Lev." Lanjut Stevi lagi.

"Wait, siapa itu Moza? Dan kenapa mbak Stevi bilang aku mirip sama dia?" Tanyaku penasaran.

Dia menceritakan semua dari awal, dan siapa sebenarnya Moza.


***


Stevi Pov

Agustus, 2 tahun yang lalu

Sungguh aku tidak berdaya sekarang, semangatku, sumber kehidupanku, tempat kebahagiaanku kini hanya bisa terbujur lemas di atas tempat tidur rumah sakit ini. Berselang oksigen dan kabel monitor detak jantung yang terus memantau pergerakan jantungnya.

Ya, sekarang Moza sudah mulai kalah dengan penyakitnya. Aku tidak sanggup menahan air mataku yang kurasa semakin habis karena selalu menangisi keadaan Moza sekarang. Aku hanya bisa berdoa meminta pada tuhan agar malaikatku bisa kembali seperti dulu.

"Mozard, bangun sayang kamu gak capek tidur terus? Aku kangen kamu, bangun dong sayang. Udah 1 bulan kamu kayak gini." Ucapku frustasi.

Tidak ada perubahan meskipun dia sudah melakukan serangkaian pengobatan, melainkan detak jantungnya yang semakin melemah. Karena kanker ganas telah menggerogoti seluruh tubuh Mozardku. Dia terlihat sangat kurus, pipinya yang dulu chubby kini menjadi tirus. Selang beberapa menit ketika aku terus menciumi kening dan menggenggam erat tangannya, ada suara parau yang sangat amat membuatku senang.

"Stev.." Panggil Moza lemah.

"Zaa, akhirnya kamu sadar juga. Sebentar ya aku panggil dokter dulu."

Dia menarik tanganku dan memintaku tidur di sampingnya.

"Gak perlu Stev, sini tidur di samping aku."

"Iya, kamu mau minum? Aku ambilin dulu yaa?"

"Aku cuma mau dipeluk kamu sayang."

Aku pun merebahkan badanku di sampingnya memeluknya begitu erat. Harumnya masih sangat aku hafal dan meskipun dalam keadaan sakit harum, badannya tidak berubah sama sekali.

"Stev, janji sama aku ya untuk terusin semua mimpi aku. Jangan berhenti gitu aja. Aku mau liat kafe kita sukses"

"Iya za, makanya kamu cepet sembuh ya sayang. Aku gak bisa ngatur semuanya sendiri"

"Kamu gak akan sendiri Stev, nanti pasti akan ada orang yang nemenin kamu gantiin aku. Tapi jangan khawatir, kamu gak akan pernah terganti kok. Aku selalu cinta sama kamu Stev."

Aku hanya bisa menangis dalam pelukannya. Aku benar-benar takut kehilangan Moza.

"Jangan tinggalin aku Mozardevanya."

Keadaan kembali hening, tidak ada suara lagi dari Moza, tanggannya mulai dingin. Aku panik, aku langsung memanggil dokter tapi semua ternyata terlambat.

"Maaf mbak Stevi, Moza sudah berjuang sejauh ini tapi tuhan berkehendak lain."

"Gak dok, gak mungkin. Moza gak mungkin ninggalin saya gitu aja. Gak mungkin !!!!!!"

Batinku teriak, seperti ada hantaman samurai yang sangat tajam langsung menusuk ke jantung hingga tembus ke punggungku. Sungguh sesak rasanya kehilangan orang yang amat kita cintai untuk selama-lamanya. Aku masih tidak percaya. Moza tidak mungkin meninggalkanku sendirian.

Aku seperti raga tak bernyawa, kini lenyap sudah mimpi kami untuk bisa hidup bersama selamanya.

Di pemakanan ..

"Ikhlasin mbak Stev, mbak Moza udah tenang jangan ditangisin terus ya." Ucap Tata yang sedari tadi terus menenangkanku.

"Iya Ta, tapi masih butuh waktu. Ini terlalu cepat."

"Yang tabah ya Stevi, Moza tetep ada di sekeliling kita kok. Kamu kuat pasti bisa lewatin semua cobaan ini." Tambah Reza sahabat Moza.

Kini hanya aku sendiri yang masih ada di makam Moza, satu persatu kerabat dan orang terdekat kami pergi meninggalkan aku sendiri yang masih meratapi nisan yang bertuliskan nama kesayanganku. Meski sulit tapi tetap aku harus mengikhlaskannya.

"Aku cinta kamu Za. Gak tau bakal nemuin yang kayak kamu atau enggak, tapi yang jelas kamu gak akan pernah tergantikan oleh siapa pun."

***

Kehidupan yang nyata itu adalah kematian
Bukan untuk ditangisi tapi untuk diikhlaskan
Dia salah satu alasan aku hidup
Tapi kini dia pergi dan itu bukan alasanku untuk mengakhiri hidupku
Aku akan bertahan sampai kami bertemu dalam kehidupan abadi

- SKS

Our Coffee (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang