Sudah lewat dari tengah malam, tapi aku masih belum bisa mengistirahatkan otakku atau bahkan sekedar memejamkan mataku. Kini Stevi pun tertidur dengan memunggungiku, menangis dan mengacuhkanku setelah aku masuk ke kamar ini. Sudah tak ada lagi suara tangisan yang keluar darinya. Aku pun memberanikan diri untuk memeluknya dari belakang.
Tidak ada penolakan dan tidak ada pergerakan sama sekali darinya, kali ini aku sudah memantapkan hatiku untuk tetap memperjuangkan masa depanku dan dia. Meski harus diawali dengan pertengkaran seperti ini. Aku hanya ingin menjadi bagian dari keluarga Sudiro yang bisa bertanggung jawab dan tidak ingin menjauhkan jarak antara anak dan orang tua.
"Maafin aku Stev, bukan aku bermaksud untuk meninggalkanmu. Bukan juga untuk mendekati orang lain, tapi aku ingin membuktikan kepada orang tuamu bahwa aku sangat mencintaimu dan aku ingin mereka yakin kalau aku bisa bertanggung jawab atas hidupmu ke depannya. Bukannya aku tidak ingin berjuang bersamamu untuk mengembangkan usaha yang kamu miliki. Tapi kamu yang bilang kan bahwa itu cita - cita dari Moza, dan cita - citaku adalah menginginkanmu menjadi pendamping hidupku yang direstui oleh orang tuamu. Jika ini adalah jalanku untuk mendapatkannya, aku akan lakukan itu." Bisikku di telinga Stevi dan memeluknya jauh lebih erat.
Terdengar lagi tangisan dari Stevi, dia membalikan badannya dan kini menghadapku. Oh Tuhan, betapa kacau wajah bidadariku sekarang. Matanya begitu sembab dan nampak sangat lelah karna terus menangis.
"Aku takut kehilangan kamu Lev, aku gak sanggup jauh dari kamu." Ucapnya sambil menatapku.
"Hey dengerin aku ya nonya Stevi Kenycta Freeza, aku akan selalu bersamamu. Lagi pula kita masih bisa berkomunikasi kan? Aku bisa datang ke Jakarta atau pun kamu menjengukku ke Sydney." Ujarku menghapus jejak air matanya.
"Terus gimana nanti kamu di sana sama Bella? Aku bukannya gak tau ya kamu pernah naksir sama dia, kalo kamu nanti malah CLBK sama dia gimana? Terus malah ninggalin aku dan milih dia gimana?" Ucapnya masih dengan nada merajuk.
"Kamu itu ngomong apa? Ngelantur banget. Bella itu udah kayak adik aku sendiri, dia yang selalu ingetin aku untuk gak terus - terusan cemburu sama mendiang Moza, dia pun sepupumu. Masa sekarang kamu yang cemburu sama dia?"
"Kita gak ada yang tau ya Lev!!" Stevi marah mode on.
"Kalau kamu ingin terus bersamaku, kamu harus percaya sama aku." Ucapku meyakinkannya, semoga kali ini dia sudah tidak membantah lagi.
"Aku cinta kamu Lev, janji untuk tidak pernah mengingkari kata - kata kamu barusan."
"Iya aku janji sayang. Yaudah, sekarang kita tidur yuk."
Stevi pun sudah jauh lebih tenang dan kini tertidur dipelukanku, seketika rasa kantuk pun menyerangku dan kami terlelap dengan posisi saling berpelukan.
***
Author pov
Pagi ini suasana di ruang makan keluarga Sudiro sangatlah hening, Tuan Danu yang sudah mengetahui amarah sang putri berusaha untuk bersikap biasa saja. Karna semua ini demi anaknya. Sedangkan Nyonya Vivi yang sangat paham akan ego sang suami dan sang anak yang sama besarnya lebih memilih untuk mengajak Levin berbicara.
"Rencananya hari ini kalian mau kemana Lev?" Tanya nyonya Vivi.
"Masih belum tau tan, aku tergantung Stevi aja."
"Kalo gitu temenin om main golf aja Lev" Kini Tuan Danu yang ikut bersuara.
"Aku gak akan biarin Papa minta syarat yang aneh - aneh lagi ke Levin. Lagian Levin juga gak bisa main golf, yang ada cuma bawain peralatan golf Papa doang." Jawab Stevi datar.
Sepertinya anak tunggal keluarga Sudiro itu sudah jauh lebih bisa mengkontrol moodnya pagi ini, dan itu membuat yang lainnya terkekeh mendengar penjelasan Stevi.
"Kok aku malah diketawain? Kalau bukan karna Levin yang minta aku untuk percaya sama dia, aku gak akan masih ada disini." Ucap Stevi yang jengah akan ulah sang ayah. Levin yang berada disampingnya pun mulai berjaga - jaga takut bidadarinya mengamuk lagi.
"Papa hanya ingin yang terbaik untuk masa depanmu Stev, kalau bukan kamu yang akan meneruskan bisnis Papa, tandanya pasanganmu yang harus mampu meneruskannya. Untuk apa selama ini Papa membangun semua usaha Papa kalau bukan untuk anak Papa satu - satunya? Papa akan segera ambil pensiun Stev, maka dari itu Papa harus mendidik Levin untuk bisa mengurus semua bisnis Papa." Ucap Tuan Danu sedikit melemah, karna kali ini Tuan Danu tidak ingin anaknya pergi lagi dari rumah.
"Tapi kenapa harus Sydney Pah? Papa sendiri masih belum mampu mengurus cabang di sana, Kenapa itu jadi ujian yang Papa kasih ke Levin?" Suara Stevi sudah kembali bergetar, menandakan dia kembali menangis. Levin hanya bisa mengelus punggung kekasihnya, tidak ingin ikut campur urusan ayah dan anak ini.
"Papa yakin, Levin mampu." Kalimat tegas yang diucapkan Tuan Danu kali ini sudah menjadi keputusan akhir, meskipun istrinya sendiri sempat khawatir akan keadaan sang anak, tapi dirinya pun tidak bisa berbuat banyak untuk merubah keputusan Tuan Danu.
Stevi pun pergi dari ruang makan, mengambil kunci mobil di kamarnya dan menarik Levin untuk pergi dari sana.
Di dalam mobilpun hanya ada keheningan, wajah Stevi kali ini sangat menyeramkan. Jadi Levin tidak berani untuk menyapa sang kekasih duluan. Mereka akhirnya sampai di salah satu pantai pinggiran Surabaya, Stevi memilih untuk keluar terlebih dahulu meninggalkan Levin tanpa mengatakan apapun. Duduk di salah satu karang besar dan memandangi lautan luas sambil menenangkan pikirannya menjadi pilihan Stevi saat ini.
"Kamu gak kepanasan memang duduk disini?" Ucap Levin yang sekarang ikut duduk disampingnya sambil memegang payung yang terbuka.
"Gak. Kalo takut hitam, dalam mobil aja. Gak usah disini." Ujar Stevi yang masih memandang ke arah lautan.
"Galak banget sih. Aku cuma gak mau kalau calon istriku khilaf terus nyusul mantan kesayangannya." Ucap Levin yang sekarang mendapat tatapan tajam dari Stevi.
"Gak usah sok perhatian, kamu pun seneng kan jauh dari aku."
"Kalo aku punya pilihan lain dan pilihannya adalah aku harus nyusul Moza buat buktiin rasa cintaku, mungkin detik ini juga aku bakal pilih itu dengan tenggelam di lautan sana."
Sontak ucapan Levin mendapatkan pukulan ringan dari Stevi.
"Poor Levin, pilihanmu itu malah buat aku makin gila. Dasar BUCIN!" Pekik Stevi, yang sekarang kembali meninggalkan Levin dan memilih untuk duduk di sebuah warung es kelapa.
"Hey Nona Stevi, kok sekarang kamu seneng banget sih ninggalin aku. Huh" Ujar Levin yang sekarang kembali menyusul Stevi.
Stevi kini sudah jauh lebih tenang, mulai sedikit mencairkan egonya dan menerima kenyataan bahwa kekasihnya akan pergi. Sekarang mereka berdua menikmati pemandangan laut yang begitu menenangkan.
"Stev.."
"Ya sayang?"
"Aku harus bilang apa sama orang tuaku soal keberangkatanku besok?"
"Biar aku yang jelaskan ke Mamamu saat aku sampai Jakarta. Nanti aku bilang kalo kamu dapat tawaran pekerjaan dari Papaku. Dan kamu harus ikut Papaku dinas di luar negri. Tapi sebelumnya, kamu harus kabarin dulu orang tuamu."
"Terus masalah paspor? Visa? Baju - bajuku?" Kini justru Levin yang terlihat cemas.
"Levina Freezaaaa, gak mungkin Papa gak nyiapin semua itu kalo Papa aja minta kamu berangkat besok" Jawab Stevi malas
cup
Merasa gemas dengan tingkah Stevi, Levin pun mencium bibir sang kekasih yang cukup membuat pipi Stevi memerah.
"Ih, siapa yang ngajarin kamu cium - cium sembarangan?"
"Tapi seneng kan? Sampe merah gitu pipinya."
"Ini tempat umum ya Lev."
"Gak apa - apa lah sesekali, kan aku bukan orang sini. Jadi belum tentu ke sini lagi." Ucap Levin dengan cengiran khasnya.
Mereka pun menghabiskan waktu bersama sebelum keberangkatan Levin besok ke Sydney.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Coffee (Completed)
Teen FictionKetika sebuah perasaan diibaratkan dengan secangkir kopi. Tak selamanya kopi itu pahit dan tak selamanya rasa itu manis Semua tergantung jenis kopi dan sebanyak apa gula yang ditambahkan.