Levina pov
09.20
Mampus aku telat, udah jam 9 lewat dan pasti aku kena semprot bos. Damn.. Damn.. Damn.. Sampe kapan sih Jakarta macet Tuhan? Saya lelah. 30 menit lagi aku harus sampai resto kalo enggak bisa hilang reputasiku di tempat kerja nanti. Tapi kalo macet gini, gimana ceritanya aku bisa sampai tempat kerja? Gak mungkin kalor ditabrakin kan? Yaudah pasang badan aja lah. Aku terus mengumpat melihat kemacetan dan terus melirik jam tanganku.
10:30
Setelah memarkirkan motorku, aku langsung berlari menuju tempat kerjaku. Aku was-was kalau nantinya aku justru malah dipecat sebelum bekerja.
"Pagi mbak Stev, maaf saya telat dan saya rasa alasan saya pun gak akan diterima. Jadi sebagai gantinya potong gaji saya aja gak apa-apa kok, tapi please jangan pecat saya mbak." Ucapku memohon kepada mbak Stevi yang menatapku keheranan.
"Pagi Lev, yampun aku tau kok Jakarta hari ini macet banget dan kalo dilihat dari tampang kamu juga kamu pasti telat bangun kan? Aku juga baru sampe jadi gak apa-apa lev, buat kali ini aku maafin." Jawabnya ramah.
"Hehe, mbak Stevi udah cantik baik lagi." Pujiku.
Konyolnya diriku ini malah modusin bos sendiri.
Ah gak boleh lagi cinlok sama bos sendiri yang ada nanti aku jadi sakit hati lagi. Gumamku.
Gak lama mbak Stevi melambaikan tangan ke arah seseorang di belakangku, saat aku menoleh, ternyata dia wanita yang kemarin di kedai kopi langgananku. Iya dia Bella.
"Semuanya, kenalin ini Store Manager kalian yang baru Bella Andira. Dia yang bakal handle semuanya ngegantiin saya" Ujar mbak Stevi memperkenalkan Bella kepada seluruh karyawannya.
Kalau Bella di sini berarti kemarin dia nungguin mbak Stevi dong? Dan kalo Bella gantiin mbak Stevi tandanya gue gak ketemu mbak Stevi lagi dong? Yah ilang deh setengah moodboster gue. Nah kan gue kepikiran si Stevi lagi.
"Lev, kenapa melamun? Kenalin ini Bella." Tegur mbak Stevi.
"Aku udah kenal dia Ken. Levin yang semalem aku ceritain, yang nemenin aku nungguin kamu sampe malem." Jelas Bella.
"Ya ampun, di Jakarta yang sepadat ini ternyata sangat sempit ya. Yaudah bagus kalo kalian udah kenal semoga bisa bekerja dengan baik ya. Permisi aku keluar sebentar." Pamit mbak Stevi dan berjalan ke area luar.
Mbak Stevi nampaknya lagi murung, gak kayak kemarin. Hari ini dia terlihat sangat sedih.
I have a great idea, mungkin enak jam segini ngopi jadi akubikinin kopi aja buat dia. Batinku, aku langsung menuju bar dan membuatkan kopi untuknya.
"Hey Lev, gak nyangka ketemu lagi di sini." Sapa Bella mengagetkanku ketika sedang meracik espresso.
"Hey Bell, iya sempit banget dunia. Oiya makasih semalem traktirannya loh. Kamu mau kopi?" Tawarku padanya.
"Ya anggep aja itu ucapan terima kasih karna udah nemenin aku seharian. Mmm.. Boleh ice mocha latte ya" pintanya.
"Siap." Jawabku sambil memperagakan gerakan hormat padanya.
Setelah membuat permintaan Bella, aku membuat espresso with cold milk untuk mbak Stevi yang sedang merokok sambil termenung.
"Misi mbak, nih spesial buat mbak." Sapaku sambil meletakan minumannya.
"Eh makasih Lev, tapi aku gak bisa minum espresso terlalu asem nanti asam lambungku langsung naik." Tolaknya.
"Aku tau, makanya aku bawain susu dingin sama caramel sause. Cobain deh pasti enak. Tapi tunggu ada cara minumnya."
Lalu aku menuangkan espresso di dalam gelas yang sudah berisikan 3/4 fresh milk dan beberapa potong es batu, setelah itu aku tuangkan caramel sause yang sangat kental itu ke dalam gelasnya. Dan tampaklah 3 tumpukan warna yang berbeda. Coklat, putih dan coklat kehitaman
"Nice, makasih lev, tapi serius ini gak apa-apa?" Tanya mbak Stevi yang masih sedikit ragu untuk meminum kopinya.
"Cobain aja dulu mbak."
Dia tampak menyukainya pertama dia tidak mengaduknya karna dia pasti penasaran dengan rasa aslinya. Setelah itu dia baru mengaduk minumannya.
"Enak lev, kamu emang jago. Makasih ya." Ujarnya sambil tersenyum.
"Sama-sama mbak. Kalo gitu aku balik ke dalem lagi ya"
"Emm lev, jam istirahat nanti temuin aku di cafe kemarin kamu temenin Bella ya"
"I..iya mbak"
Ada apa Stevi mengajakku ke kedai kemarin? Apa dia memang sedang butuh teman curhat? Semoga aja kejadian ini gak bikin gue kebawa perasaan.
***
Stevi pov
Anak itu benar-benar mengingatkan aku sama Moza. Rasanya ada sisi Moza yang aku lihat di dalem Levin. Mereka mirip sama-sama pecinta kopi dan sama-sama jago bikin kopi. Perlakuan manis Levin tadi pun mirip dengan Moza yang selalu menawariku kopi buatannya setiap dia melihatku muram.
Apa keputusan ini terlalu cepat tapi rasanya aku sangat butuh seseorang menyerupai Moza mungkin itu Levin. Tapi apa dia bisa menerimaku bahkan bukan mencaciku? Ini gila memang entahlah, aku terlalu addicted dengan cerminan diri Moza.
15:00
Levin akhirnya datang memenuhi permintaanku tadi. Dari kejauhan aku bisa liat auranya yang sangat mempesona.
Ternyata Levin cukup mempesona, dengan gayanya yang sederhana dan senyum manisnya, mampu membuat pipiku merona saat menatapnya.
Dia duduk tepat di hadapanku. Tapi aku memintanya untuk berpindah duduk di sampingku dan dia pun mengikuti mauku.
"Kenapa mbak? Ada yang penting ya sampe harus di luar cafe gini?" Tanyanya polos.
"Jangan panggil mbak, panggil aku Stevi aja lev." Pintaku sambil menggenggam tangannya. Dia tampak sedikit terkejut dengan perbuatanku, dan ini justru membuatku semakin tertarik.
"Emm Stev, ada apa ya kamu minta aku kesini?" Tanyanya lagi.
Dia terlihat gugup, tapi dia tidak menarik tangannya yang aku genggam. Dan aku merasakan tangannya mulai dingin.
"Aku.. Aku mau jujur sama kamu Lev."
"Iya tentang apa?"
"Aku suka sama kamu, aku mau kita berhubungan lebih dekat." Jawabku jujur.
Levin langsung menarik tangannya dan perlahan dia berdiri lalu mundur, menjauh dariku. Mungkin setelah ini dia akan pergi meninggalkanku sendiri.
"Kamu gak salah? Maksudnya apa?" Tanyanya heran.
"Aku mau kita pacaran."
Dia pun kaget akan pernyataanku dan langsung pergi meninggalkanku tanpa mengucapkan apa pun.
Bodohnya kamu Stevi, bahkan kamu belum pasti dia juga memiliki ketertarikan terhadap perempuan. Dan sekarang dia pasti akan menghindar karena jijik akan kejujuranmu. Gumamku melihat kepergian Levin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Coffee (Completed)
JugendliteraturKetika sebuah perasaan diibaratkan dengan secangkir kopi. Tak selamanya kopi itu pahit dan tak selamanya rasa itu manis Semua tergantung jenis kopi dan sebanyak apa gula yang ditambahkan.