Stevi pov
Kota ini, tempat awalku bertemu dengan Moza kurang lebih 4 tahun lalu. Awal aku mengenalnya di sebuah coffee shop kecil dekat dengan kampusku. Aku yang terbilang sangat sering datang ke tempatnya membuat aku dan moza menjadi akrab. Coffee shop itu milik tantenya yang sekarang sudah tidak tinggal lagi di Indonesia, maka dari itu Moza pindah ke Surabaya. Moza sangat mandiri, dia mampu membuktikan kepada alm. ke dua orang tuanya bahwa dia akan sukses dengan jalannya sendiri.
Desember 4 tahun lalu,
"Siang, selamat datang." Sapa salah satu waiter ketika aku dan teman-temanku memasuki tempat itu.
Kami langsung duduk di tempat biasa ketika kami datang kesini. Seorang wanita berwajah cantik dan juga tampan datang mendatangi kami, menanyakan apa yang ingin kami pesan. Moza, itulah nama yang aku lihat nametag di dadanya.
"Siang kak, mau pesan apa?"
"Ice lattenya 2, flat whitenya 1."
"Ok, di tunggu"
Senyumnya begitu menawan, aku sedikit tertarik untuk mengenalnya. Aku memang tidak mengakui bahwa aku penyuka sesama jenis tapi aku pun tidak mau membatasi hatiku untuk mencintai seorang perempuan. Menurutku tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang namanya pengaruh buruk, semua takdir dari Tuhan.
Hari itu aku hanya sekedar menyelesaikan tugas dengan Sonya dan Amira. Dan besoknya aku kembali lagi. Memang tidak ada jadwal kuliah atau tugas yang aku kerjakan. Aku hanya menghibur diri di tempat ini, coffee shop ini begitu tenang dan sangat nyaman. Dengan dekorasi klasik dan alunan instrumen jazz, membuatku merasa relax. Moza menghampiriku dan menanyakan pesananku seperti biasa.
"Siang kak, tumben sendiri? Temennya yang cantik-cantik kemarin mana?"
"Kamu tuh mau nanya pesenanku atau mau tanya temen-temenku sebenernya?"
"Nanya pesenan sih, cuma kalo dikasih tau soal temen-temennya kemarin apa lagi sampe di kasih nomer telfonnya aku gak nolak kok. Hahaha"
"Minta aja sendiri! Dan aku pesan ice latte 1."
"Galak sekali, kamu juga gak kalah cantik kok. Kalo gitu mohon tunggu sebentar untuk pesanannya."
Mendengar pujian Moza, sontak membuat pipiku memanas, memang terlalu biasa pujiannya. Hanya saja itu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku yakin jika Moza spesial karena jika tidak, tidak mungkin dia menanyakan Sonya dan Amira.
Apa peduli seorang waiters perempuan jika hanya ingin berbasa-basi dengan costumernya sampai harus memuji seperti itu. Tidak lama kemudian, Moza membawakan pesananku.
"Silahkan Ice lattenya."
"Terima kasih."
"Masih jutek aja. Kamu sendirian atau memang lagi nunggu temen-temen kamu?"
"Kamu dari tadi nanya temenku terus, kamu naksir mereka?"
"Yaa kan dibilang, kalo di kasih tau atau di kasih nomer telfonnya sih aku gak akan nolak"
"Dasar ganjen. Aku sendirian, hari ini gak ada jadwal kuliah makanya gak sama mereka"
"Hahaha, gak kuliah tapi rajin banget dateng ke daerah kampus."
"Memang harus dengan alasan kuliah dulu baru aku bisa dateng ke sini?"
"Yaa enggak juga sih. Btw, oleh aku duduk disini?"
"Silahkan aja, tapi memang atasanmu gak marah, lagi jam kerja malah nyantai?"
"Gak kok. Yang punya tempat ini tanteku, aku cuma bantu-bantu sekedarnya aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Coffee (Completed)
Fiksi RemajaKetika sebuah perasaan diibaratkan dengan secangkir kopi. Tak selamanya kopi itu pahit dan tak selamanya rasa itu manis Semua tergantung jenis kopi dan sebanyak apa gula yang ditambahkan.