20 - Go Home

33.1K 2.6K 107
                                    


****

Angkasa's POV

****

"No! No! NABILAA!!"

Detak jantungku seolah ingin menghancurkan dadaku ketika tangan orang itu tidak pernah sampai padaku. Tanpa sadar aku memanggil nama Nabila, entah karena kecurigaanku selama ini, atau mungkin sorotan mata itu yang membuatku berpikir bahwa itu Nabila. Untuk sesaat, aku hanya bisa menatap tanganku yang bergetar

Aku tak dapat melihat apa pun. Satu-satunya hal yang ku inginkan adalah melompat, mencari keberadaan orang itu. Tapi tawa mengejek seseorang membuatku berhenti dan menoleh. Amarah mendadak menguasaiku saat Gilang, pemimpin dari komplotan sialan ini tertawa ke arahku. Tanganku yang gemetar kali ini mungkin harus meninju seseorang.

Tanpa memedulikan rasa kebas di kakiku, aku mencengkeram leher Gilang. Menyeretnya kasar dan membenturkan kepala penghianatnya ke tembok. Laki-laki tidak berguna ini benar-benar membuatku muak.

"Son of a bitch!" tinjuku mengenai wajahnya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Hingga aku tidak bisa menghitungnya lagi. Semua karena dirinya. Jika saja ia tidak menggangguku tadi, wanita yang memiliki mata seperti Nabila itu pasti sudah tertangkap. Dan aku tidak perlu meragu lagi soal Nabila, karena istriku tidak mungkin seorang kurir obat-obatan terlarang.

"Dia kabur kan? Udah gue bilang, nggak ada yang bisa nangkep si keparat itu!" Gilang berucap sambil menyeringai meskipun wajahnya sudah sekarat. "Atau udah mati dia?"

Rahangku mengatup keras ketika kulemparkan tinju ke wajahnya lagi. Aku marah. Aku marah karena aku tidak tahu apa-apa. Dan Gilang sialan ini, aku tidak tahu mengapa ia menyerangku padahal kami sudah bersepakat.

"Ngapain lo nyerang gue, hah? Udah bosen hidup?"

Gilang semakin tertawa keras mendengar teriakanku. Manusia sampah.

"Phantom atau siapa pun nama orang keparat itu, semua kelompok pengedar pasti akan bersyukur mendengar kabar kematiannya. Termasuk gue! Makasih banyak, gue nggak peduli gue bakal selamanya dipenjara. Phantom mati adalah kabar gembira."

Ia tertawa keras. Benar-benar keras hingga rasanya ingin ku robek mulut tidak beradap itu.

Kuraih lehernya lagi dan mencekiknya keras. Tawanya mendadak hilang. Sebagai bentuk perlawanan ia hanya bisa mencakar-cakar tanganku. Tak berdaya. Sangat menyedihkan. Sayangnya aku tidak sedih sama sekali. Panggil aku gila, aku bahagia melihatnya meregang nyawa.

"Membusuklah dipenjara!" desisku dan melemparkannya jauh-jauh dari pandanganku.

Setelah itu aku tidak peduli apa pun lagi. Aku bahkan tidak tahu mengapa kakiku bisa berlari secepat ini meski darah sudah merembes keluar dari bekas tikaman Gilang. Aku tidak peduli dengan darah si keparat itu yang membekas di tanganku. Aku bahkan tidak peduli jika ia berusaha melarikan diri.

Karena yang aku inginkan adalah berlari turun untuk menemukan wanita itu.

"Angkasa! Kembali ke basecamp!" suara Helena datang melalui chip komunikasi yang terpasang ditelingaku.

"No. I need to find her."

"Dengar baik-baik, Erland memberi perintah untuk segera kembali ke basecamp. Kita harus segera ke Bandung. Phantom mungkin sudah mengabari kelompoknya tentang paket itu."

"Phantom mungkin sudah mati, Helena!"

"Lalu kenapa? Yang terpenting adalah paketnya. Kita tidak bisa kehilangan itu!" teriakan Helena membuatku semakin marah. Karena Helena tidak berada diposisiku.

Sweetly BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang