24 - Mimpi Buruk

29.4K 2.5K 95
                                        


Suara canda tawa terasa mengusik Nabila ketika ia bahkan belum membuka matanya. Wanita itu bergerak gelisah kemudian mengerjapkan mata. Sinar lembut melingkupi wajahnya kala ia menatap pada tirai kamar yang terbuka. Apakah ini sudah sore? Nabila bertanya dalam hati.

Ia bergerak turun dari tempat tidur. Menangkap langsung bayangan dirinya yang terpantul di cermin. Rambutnya tak lagi panjang, hanya sebatas bahu. Ia tak mengenakan baju tidur tapi malah mengenakan gaun rajut berwarna putih. Merangkum sempurna dari leher hingga lututnya.

Lagi-lagi suara dari luar ruangan membuatnya terusik. Ia menoleh pada pintu kayu kamarnya. Semuanya masih terletak di tempat yang seharusnya. Tidak ada yang berubah dari kamar ungu miliknya. Tapi Nabila merasa bingung. Kenapa ia bisa tidur dikamarnya sekarang?

"Om Angkasa! Ini makanan apa?" teriakan seseorang membuat Nabila cepat-cepat berjalan menuju pintu dan membukanya. Merasakan tubuhnya menghangat kala melihat Denis sedang duduk di kursi makan dan melotot pada makanan di hadapannya.

"Jangan bawel! Makan aja!"

Kali ini kepala Nabila menyentak cepat menuju arah suara itu. Angkasa sedang berdiri membelakanginya dengan punggung berlapis kemeja abu-abu. Mau tak mau Nabila menarik senyum melihat gerakan canggung pria itu di dapurnya.

"Kak, kok bengong. Bantuin Om Angkasa masak. Ini Nasi goreng udah mirip tanah liat!" Denis berseru ketika melihat Nabila. Remaja itu melambai-lambaikan tangannya meminta Nabila untuk mendekat.

"Bersyukur jadi manusia tuh!" Angkasa menyentak dari dapur. Ia membalik badannya berkacak pinggang dengan satu tangan memegang spatula. "Masih mending ada makanan tersaji di depanmu!" pelototnya kesal.

Tapi saat matanya menemukan Nabila, pria itu langsung mengulas senyum cerah.

"Sayang, kamu udah bangun." Suaranya lembut, membuat Denis mencibir.

Tak lama senyuman Angkasa hilang. Nabila mendadak panik memikirkan apa yang membuat senyum pria itu lenyap. Tapi tebakannya salah.

"Kamu belum sembuh benar, jangan keluar kamar dulu harusnya!" Angkasa berkata dengan cemberut.

"Duduklah. Biarku siapkan sarapan untukmu. Karena nasi gorengnya gagal, aku buatkan roti isi saja tidak masalah kan?" Angkasa menyengir dan Nabila hanya mengangguk geli. Ia duduk berhadapan dengan Denis. Melirik remaja itu yang memakan sarapannya dengan ogah-ogahan.

Sampai di sana, Nabila belum menyadari keberadaan orang lain dalam ruangan. Ketika ia menoleh ke sampingnya, terdapat sebuah kursi makan untuk bayi. Nah, bukan itu yang membuat Nabila mengerutkan dahinya bingung. Namun karena ada sesosok bayi bermata bening yang sedang menepuk-nepukkan tangannya gembira.

Nabila terpesona untuk beberapa saat. Ia mengabaikan tangan mungil bayi itu yang menggapai-gapai ke arahnya. Minta dipeluk. Atau mungkin digendong. Nabila tidak mengerti. Apa yang terjadi sebenarnya di sini. Mata Nabila melirik ke seluruh ruangan yang terasa dibanjiri oleh cahaya. Bukan cahaya yang menyilaukan, namun cahaya lembut yang membuatnya tenang.

Kemudian pandangannya kembali pada sang bayi yang kini sedang ditimang oleh Angkasa. Pria itu menggoyang-goyangkan makhluk mungil dalam pelukannya dengan santai. Seolah telah terbiasa melakukannya.

"Bunda sedang sakit sayang, sama Ayah dulu ya." Angkasa menjejalkan hidungnya ke perut balita itu. Membuat si kecil itu terkikik-kikik kegelian. Lalu mata Angkasa menatap Nabila dengan senyuman bahagia. Seolah hidupnya telah lengkap dan ia tak membutuhkan apa pun lagi.

"Makanlah, biar aku yang menjaga dia," ucap Angkasa kemudian kembali memfokuskan senyumnya pada bayi yang ada dalam genggamannya. "Bunda mau makan dulu, jangan diganggu, oke?"

Aku? Aku bunda dari gadis cantik itu? Bisik Nabila dalam hati.

Nabila ingin bertanya itu anak siapa. Tapi ia cegah karena merasa pertanyaan yang ingin ia lontarkan adalah salah. Kepalanya mendadak pusing memikirkan alur cerita hidupnya yang terasa terpotong.

Bukankah seharusnya Nabila saat ini ada di Bandung? Kenapa ia tiba-tiba sudah ada di rumahnya sendiri. Kapan mereka membawanya kesini. Bagaimana caranya? Sudah berapa lama waktu berlalu sejak kejadian itu. Lalu apa maksud Angkasa dengan memanggil dirinya sebagai Ayah dan memanggil Nabila sebagai Bunda.

Saat pikiran Nabila sedang sibuk-sibuknya mencari jalan keluar. Pintu rumahnya diketuk dengan keras. Terdengar seseorang berkata 'permisi' di luar sana. Kepala Nabila menoleh pada Angkasa dan Denis yang seolah tidak mendengar ketukan itu.

"Biar aku yang buka," ucap Nabila akhirnya. Kedua laki-laki di hadapannya hanya tersenyum dan mengamati Nabila ketika wanita itu berjalan perlahan menuju pintu depan.

Tidak tahu apa yang akan dihadapinya di luar sana. Tubuhnya seolah menolak untuk membuka pintu. Tangannya terasa kaku dan terlalu takut untuk memutar gagang pintu. Menemukan siapa gerangan yang sedang menantinya.

Namun, Nabila tetap melakukannya dan langsung menyesali tindakannya ketika ia telah berhasil membuka pintu tersebut. Ia bertatapan langsung dengan tamunya.

Sagara.

Ia menyeringai senang saat berkata, "Hallo, sayangku."

Nabila menahan nafasnya dan mengambil satu langkah mundur. Membiarkan pintu rumahnya terbuka lebar menampakkan Sagara yang seolah siap membunuhnya saat itu juga. Nabila menoleh ke belakang, memastikan bahwa Angkasa Denis dan bayi itu aman. Tapi ia tak melihat apa-apa.

Alih-alih cahaya indah yang menghiasi setiap sudut rumahnya, kini yang terlihat hanyalah rumah yang kosong tak berpenghuni. Semua lampunya padam. Menyisakan bayangan-bayangan hitam dari furnitur sehingga tampak menyeramkan.

Nabila dengan spontan kembali menatap Sagara saat pria itu tertawa kecil. Satu titik jauh dalam lubuk hati wanita itu ingin berlari pergi. Bersembunyi di mana pun itu agar ia bisa menjauh dari Sagara.

"Sesuai janji, aku kembalikan kakakmu." Intonasi suara Sagara membuat Nabila ingin muntah.

Dan saat Sagara semakin melebarkan senyum mengerikannya, ia melirik ke bawah. Pada sesuatu yang berada di dekat kakinya.

Jangan menoleh.

Jangan terpancing.

Jangan.

Tapi Nabila tetap mengikuti ke mana arah mata Sagara menatap. Hanya untuk membelalakkan matanya, membekap mulutnya keras-keras ketika menemukan sosok orang yang dulu sangat ia kenal.

Rangga. Tergeletak dengan banyak luka ditubuhnya. Tak bernyawa. Hal terakhir yang dapat Nabila lakukan adalah berteriak sekeras-kerasnya.

****

Terima kasih telah membaca, jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih telah membaca, jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya. Cerita ini sudah tamat dan dapat dibaca secara lengkap melalui platform Karyakarsa.com/Amubamini. Kalian juga bisa beli paket membaca Sweetly Broken dengan harga yang lebih murah dibanding membeli satu per satu chapter.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Salam sayang,
Amubamini.

Sweetly BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang