BAB XI

227 19 1
                                    

"Otak gue nggak mencuat keluar, kan?" Alan meringis. Kalau tidak salah, salah satu preman tadi menghantam kepalanya dengan pemukul kayu entah apa.

Mira terkesima sesaat mendengar pertanyaan dari Alan. "...Nggak."

"Oke, berarti gue baik-baik saja."

Itu adalah perkataan yang keluar untuk menutup-nutupi rasa perih yang sebenarnya menjalar ke seluruh tubuh Alan. Badannya berasa remuk semua. Wajahnya berdenyut-denyut. Dia bahkan dapat mengecap rasa asin dalam mulutnya.

Memang salah Alan yang sering terbakar emosi duluan. Setelah ditonjok oleh salah satu preman, Alan balas menonjok keras. Dia puas. Tinjuannya berhasil meretakkan rahang preman itu. Alan yakin banget. Namun, seolah-olah hampir lupa dengan kawanan si preman, Alan langsung diserang bertubi-tubi.

Ketika dipukuli seperti itu, Alan jadi teringat saat dirinya dipukuli oleh seniornya di Jakarta. Senior itu bernama Bagas. Karena sesuatu hal, Alan mulai menyerang Bagas di kelas Bagas. Tanpa peduli banyak pasang mata yang menyaksikan. Akibatnya, Alan diskors dari sekolah. Dan selama masa skors itu, Bagas beserta teman-temannya membalaskan dendam. Di belakang lapangan voli klubnya di Jakarta, Alan dihabisi. Ya, persis seperti bagaimana dia dihabisi oleh preman Dago.

Cowok itu tumbang. Sama seperti setahun lalu. Payah sekali rasanya, tumbang di depan cewek.

"93% nggak ada apa-apa berarti ada apa-apa. Nggak cuma cewek, cowok juga begitu," ujar Mira, mengutip kata-kata Alan.

Alan balas terkekeh. Tapi dasar, mukanya yang bonyok itu tidak memperbolehkan dia tertawa. Semakin dia tertawa, semakin berkedut sudut bibirnya. Mira masih membersihkan luka Alan dengan rivanol dan menempelkan plester obat. Seluruh perkakas berasal dari sling bag milik Mira. Alan takjub juga. Dalam sling bag motif bunga-bungaan yang kelihatan kecil itu, banyak barang yang bisa muat di dalam. Seperti kantong Doraemon aja! Alan sempat mengintip. Ada peralatan obat, ponsel, dompet, tisu, bahkan pemantik api! Mengapa Mira membawa pemantik api di tasnya?

"Thanks. Sepertinya ini sudah cukup. Gue ke lapangan dulu buat pemanasan, ya." Alan menanggalkan jaket kulitnya. Memperlihatkan singlet salah satu klub bola berwarna oranye melekat di tubuh. Cowok itu melemaskan otot lehernya yang kaku.

Karena sudah tidak punya waktu lagi mengantar Mira pulang, Alan membawa Mira ikut serta ke GOR Kosambi untuk mengikuti tes calon atlet yang akan diturunkan untuk ikut kejuaraan Proliga tahun ini, mewakili klub. Latihan keras telah dilakukan Alan rutin demi hari ini. Pagi dan sore. Latihan kekuatan tangan sampai kecepatan lari. Dia meyakini sekarang adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kepada para pelatih mengenai perkembangannya.

Mira bertanya khawatir, "Kamu yakin?"

"Yang kena pukul wajah gue. Pinggang gue juga sih, sedikit. Tapi selagi tangan gue masih bisa bergerak untuk memukul bola, gue baik-baik aja."

Mira tertegun sejenak. Akhirnya dia pun mengangguk kecil. "Setelah pertandingan, boleh aku tahu kamu mau menanyakan apa tadi?"

"Pasti. Kalau gue menang, gue akan ngasih tahu apa yang mau gue tanyain. Makanya doain gue, oke?" pintanya.

"Oke. Break a leg, Alandra."

"Astagfirullah, kok lo doain kaki gue patah?"

"Itu ungkapan keberuntungan."

"Gue tahu," ujar Alan, tawanya berderai lagi. Kali ini tidak sakit sama sekali. Mungkin karena adrenalin yang menjalar memutuskan sensor rasa sakitnya. Atau mungkin karena raut malu-malu Mira yang imut melenyapkan rasa sakit itu. "Semoga kaki gue patah."

"Bukan begitu!"

Alan melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa. Penuh percaya diri bergerak menuju lapangan.

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang