BAB XXII

99 8 1
                                    


Otak Mira seketika blank seperti sebuah komputer yang menjalankan berbagai aplikasi secara bersamaan lantas memunculkan pop up bertuliskan: not responding.

"Jadi gimana atuh Mira, Alan diterima nih?" teriak Lexie sambil tersenyum lebar-lebar.

Seluruh anggota kelas yang menahan napas sembari memandangi Mira. Beberapa bahkan membelalak tak berkedip.

Wait, what? Ada apa ini? Mengapa semua anak melirik kepadaku?

Oh, ya, Alan baru saja menyatakan perasaannya kepada Mira. Suatu adegan yang hanya Mira temukan dalam film atau novel. Adegan yang tak pernah sekalipun Mira bayangkan akan terjadi kepadanya.

Lalu apa yang harus Mira lakukan? Menurut film atau novel romantis yang ia baca, cewek seumurannya biasa berkata: Pikir-pikir dulu deh.

Tapi Mira tidak bisa pikir-pikir dulu. Jawabannya sudah definitif. Tidak. Tapi dadanya berkhianat dengan menciptakan debar-debar manis. Pikirannya ikut berkhianat dengan memunculkan gambaran indah tentang dirinya dengan Alan, di sebuah taman, dengan Al yang berlari-lari memutari mereka.

Screw that imagination off.

"Ada apa, sih?" Mira mendengar bisikan pertanyaan entah dari Yonas, salah satu anak kelasnya, yang baru saja kembali dari memadamkan panggangan. Yonas celingak-celinguk. Keheranan menyaksikan suasana yang tadinya ramai menjadi redam.

"Alan nembak anak kelas." Fanya menjawab dengan suara yang berusaha ia kecilkan, tapi tetap saja dapat terdengar jelas di pendengaran Mira.

"Siapa?"

"Mira."

"Mira? Almira? Cewek antisosial itu? Lah kok bisa?" Yonas merespon spontan. Nada suaranya terdengar meremehkan. Seolah fakta bahwa loser seperti Mira bisa ditembak oleh Alan adalah lelucon. Bayangkan saja, mana mungkin cewek antisosial seperti Mira layak bersanding dengan Alandra Septian—atlet voli yang diidolakan seantero Bandung?

She is going to be the flaw in Alan's flawless life. Terutama dengan keadaan Mira yang bagaikan batu sandungan untuk Alan. Ya. Everyone agrees. Tapi tidak seharusnya Yonas sejahat itu dengan mengatakannya terang-terangan, kan?

"Bukan antisosial—" Mira tidak menyadari kata-kata yang biasanya hanya teredam dalam pikirannya, kini sudah meluncur begitu saja dari belah bibirnya. Menghancurkan tameng introvert yang selama ini ia jaga. "Lebih ke orang yang tidak punya toleransi terhadap orang-orang fake dan drama."

"Gitu aja baper ih." Seseorang dari lingkaran menimpali sinis.

"Baper?" Mira membalas dengan nada lebih sarkas. Mira tidak mengerti dengan lingkungan sosialnya kini. Tukang ledek memanfaatkan istilah baper hanya untuk melegalkan perbuatan jahatnya.

Dan Mira tidak menyadari bahwa dia baru saja mengutarakan isi pikirannya secara langsung. Menyebabkan beberapa anak menggeram. Mira menangkupkan tangannya ke depan mulut. Mengutuk diri sendiri yang tidak mengontrol dirinya. Dia lantas berbalik dan berlari menuju tenda. Menolak untuk mendengar apa pun. Tidak peduli Alan memanggil-manggil namanya.

Dalia rupanya menyusul Mira ke tenda. Mira meringkuk di dalam selimut. Menolak siapa pun yang mencoba masuk.

Mungkin saja, Mira tidak berpura-pura menjadi introvert. Mira memang beneran introvert. Siapa Mira yang dengan tak sopannya membela diri dengan fakta bahwa dirinya tak suka bergaul dengan orang-orang fake?

Miralah orang fake itu. Bahkan tameng introvert-nya saja adalah bukti nyata bahwa Mira adalah penipu ulung.

Mira berkata lirih, "Maafin aku."

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang