BAB XVI

189 20 12
                                    


Mira sesungguhnya memiliki motif tersembunyi.

Dia punya beberapa alasan mengapa Alandra Septian, si cowok narsis dan populer di sekolah, atau bahkan seantero Bandung—mengingat Alan adalah seorang atlet voli kawakan yang tenar di media sosial, diperbolehkan berkeliaran mendekati Mira. Walaupun, Mira sadar betul keputusan itu bisa berisiko sempurna. Risiko kalau...

Memikirkan risiko itu membuat kepalanya semakin berdenyut saja.

Akhir-akhir ini Mira terserang demam. Disertai dengan flu dan diare berkepanjangan. Selagi tiduran di atas kasur bermotif bunga mawar miliknya, Mira mengusap minyak kayu putih di perut dengan gerakan memutar. Matanya tidak sengaja tertuju pada flash disk bergantungan kunci huruf A dari meja belajar, titipan dari Alan dua hari lalu di perpustakaan. Usai genap sebulan Alan menunaikan detensinya.

"Gue udah ngopiin film-film Harry Potter lengkap. Lo pernah bilang lo kangen kan re-watch Harry Potter? Untung filmnya belum gue hapusin dari hard disk."

Mira menggumamkan ucapan terima kasih saat itu. Dengan pandangan yang tidak lepas dari rumus fisika yang mengisi barisan buku tulisnya. Mira agak-agak tidak percaya Alan benar-benar mendengarkan keinginannya untuk re-watch Harry Potter.

Cowok itu membalikkan kursi, duduk menghadapnya. Lengannya yang kokoh memeluk sandaran kursi dan dagunya mendarat di puncak sandaran. Lama memandangi Mira, cowok itu berkomentar lagi, "Kok lo suka banget sama Harry Potter?"

"Ada salah satu tokohnya yang aku favoritin banget."

Alan langsung melancarkan aksi tebak-tebakan. "Siapa? Harry Potter? Ron? Hermonie?"

Mira menggeleng.

"Oh, gue tau, lo pasti demen tokoh-tokoh nyentrik kayak Luna Lovegood atau Profesor Snape?"

"Profesor Snape adalah tokoh yang menempati urutan kedua dari daftar tokoh favoritku. Cinta bertepuk sebelah tangannya sangat mengharukan."

"Lalu?"

"Aku suka Remus Lupin."

"Oh... yang bajunya ditambal-tambal kayak gelandangan itu, ya. Gue baru tahu tipe elo ternyata seperti itu, Al. Berarti, kalau gue makein baju bekas yang udah dijadiin kain pel oleh Teh Manis untuk ketemu lo, lo bakal naksir gue?"

"Bukan begitu," sangkal cewek itu cepat. "Profesor Lupin adalah favoritku lebih karena... dia selalu berada dalam ketakutan. Dan itu ia lakukan untuk melindungi orang lain."

Alan mengangguk. Dilihat dari dekat, kedua pupil Alan lantas menarik perhatian Mira. Kecokelatan, jernih, namun hangat. Menenangkan. Dipandangi seperti itu, Alan tersenyum makin lebar. Mira bisa mengerti mengapa hampir seluruh populasi cewek di kelasnya jadi patah hati karena percakapan WhatsApp seminggu lalu.

Alan punya pancaran karismanya tersendiri. Cowok itu memiliki mata yang bagus. Senyumannya menyegarkan, terutama dengan bibir agak tebal yang ia miliki, membungkus barisan giginya yang putih dan rapi. Namun, faktor sesungguhnya yang membuat Alan populer adalah sifat humoris dan stok kepercayaan diri yang tak ada habisnya.

Seperti Augustus Waters versi nyata?

Tidak! Seberapa mirip pun senyum Alan dengan senyuman Ansel Elgort yang akhir-akhir ini jadi favoritnya, menggantikan Logan Lerman, Mira berusaha agar tidak goyah. Mira tak boleh membiarkan Alan menyibak pembatas tak kasat mata yang selama ini Mira bentangkan bertahun-tahun lamanya. Hal tersebut bisa membahayakan Alan dan juga dirinya sendiri.

Mira mendesah berat.

Sambil jemari tangan kirinya mengelus Al yang bergelung di sisi kanan, Mira memasukkan flash disk pemberian Alan ke dalam colokan khusus USB di laptop. Dia bersin sekali ketika layar laptopnya menampilkan sebuah folder berisikan film. Mira menggerakkan kursor ke arah salah satu film, Harry Potter and The Goblet of Fire—Mira mengenang dirinya dulu suka banget sama serial yang ini, ketika Robert Pattinson masih tampak lugu dan polos. Punggungnya bersandar pada tumpukan bantal empuk tatkala layar laptop telah menampakkan aplikasi pemutar video.

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang