BAB IX

164 19 1
                                    


Cat is everyone's bestfriend, right?

Makanya, separuh sore itu Mira habiskan bersama Al. Sambil menikmati uap tipis menguar dari permukaan teh dalam genggaman. Didekatkannya mulut gelas kertas tersebut ke hidung untuk dihirup. Manis. Saraf-saraf Mira yang tegang mengendur.

Lagi-lagi Mira menyeruput tehnya.

Dia meringkuk dengan sepasang kaki yang dirapatkan dan bertengger di ujung sofa. Sepasang mata terarah pada televisi yang saat itu menayangkan salah satu episode CSI: Miami. Dan Al sedang menjilati kaki tepat di sebelah cewek itu. Di atas sofa kulit berwarna beige yang sedang Mira duduki dengan nyaman.

"Serem, deh, Al. Rifan ngikutin aku terus. Lagian mana mungkin aku membeberkan rahasianya? Ngomong sama orang aja is a no no," tutur Mira, risau. "Aku juga baru tahu Alandra adalah adiknya Kak Anin. Aku belum pernah cerita tentang Kak Anin, ya?" Mira menggigit bibir. "Kak Anin itu orang yang mengenalkan aku pada forumku sekarang. Dia tahu akun Almira Waters-ku. Yang artinya dia tahu aku, Al. Gimana kalau Kak Anin keceplosan ngebocorin rahasiaku ke Alandra? Andai aja ya kamu dilahirin sebagai manusia, Al, kamu bakal tahu kalau hal yang paaaling manusia sulit jaga adalah sebuah rahasia."

"Miaw!"

"Lucu nggak, sih? Aku, Rifan, Kak Anin, dan kini Alandra Septian. Kami berempat seperti sedang bermain petak umpet."

Al berhenti menjilati kakinya lalu balas menatap Mira. Tatapan kucing itu serius banget sampai-sampai Mira tidak akan terkejut kalau Al tiba-tiba bisa ngomong. Tidak lama kemudian, Al malah meloncat turun dari sofa, berjalan menuju ke halaman belakang dengan ayunan ekor anggun, tempat Al biasanya buang air.

Jangan-jangan bahkan seekor kucing mules mendengar ceritanya?! "Al! Dengerin curhatan Mama!"

Mira mendesah. Tombol power pada remote TV dipijitnya, menyebabkan layar TV berubah menjadi hitam.

Ah. Mira merasa dirinya seperti seorang burnonan. Dikejar-kejar seumur hidup. Tidak bisakah dia dibiarkan menjalani sekolahnya dengan tenang setidaknya sampai lulus?

Mira menggigit bibir. Kepalanya semakin sakit saja. Menurut buku biru, waktunya memberi asupan kekuatan untuk tubuhnya.

***

Minggu pagi dihabiskan Mira dengan bereksperimen di dapur kecilnya alih-alih jogging pagi—sesungguhnya, Mira takut bakal ketemu Alan lagi di CFD Dago. Sembari mengaduk whipped cream dengan tempo cepat, dia melongok ke arah oven yang ada di belakangnya. Mira terkejut melihat cheese cake buatannya mengembang melampaui estimasi. Cepat-cepat Mira meletakkan loyang whipped cream sembarangan dan bergerak menuju oven.

Astaga!

Kalau sudah chaos seperti ini, Mira sering membayangkan dirinya menjadi salah satu konsestan Master Chef. Dia membayangkan tindak-tanduknya diawasi oleh Gordon Ramsay dari panggung juri sambil mengelus dagu dan berbisik kepada Christina Tosi, "She's screwed up." Lalu Christina Tosi mengangguk setuju dan memandangnya khawatir. Akan tetapi, si baker handal tersebut bakal mendukungnya sedikit, "But she's doing it right. Almost."

Mira mematikan oven. Berikut mematikan imajinasinya juga.

Dia mendesah lega karena cheese cake-nya terselamatkan. Aroma keju manis dan uap panas menguar. Titik-titik air berkerumun di dahi Mira, yang kemudian dihapusnya dengan sapu tangan kecil yang ia siapkan di saku celana pendeknya.

Suara getaran halus berasal dari ponsel yang tergeletak di atas meja makan, tepat di sebelah mixer yang kotor dan diselimuti oleh tepung tipis. Mira mendekat. A new message has arrived.

+628******

Almira! Tmn2 udh pada ngumpul nih di simpang dago. Lg dimana?

Mira berinisiatif untuk tidak membalas pesan tersebut dengan cara membiarkan ponselnya tetap berada di meja dan layarnya mati otomatis. Duh, kalau tahu bakal diteror begini, Mira menyesal memberikan nomor ponselnya kepada Dalia! Nggak deh, dia lebih menyesal lagi menyetujui keinginan Mama untuk memakai ponsel.

Sebuah cheese cake utuh dikeluarkan Mira dari oven dengan hati-hati. Dia kemudian membalut cheese cake buatannya itu dengan whipped cream. Mira berusaha terpusat, namun tetap saja, cewek itu tidak bisa ketika ada rumbaian pertanyaan bertiup-tiup dalam kepalanya. Dekorasi kuenya berantakan.

"Lagi bikin apa, Sayang?" pertanyaan dari Mama membuat Mira melepaskan diri dari lamunan.

"Cheese cake, Ma. Ini udah selesai. Tinggal dirapikan sedikit."

Mama meyambangi meja makan bundar, mendekati posisi Mira. Pagi itu, Mama sudah berdandan rapi. Mama mengenakan blus kashmir berbahan spandek berwarna biru pastel dan jilbab bermotif bunga daisy. "Mama mau pergi?"

"Iya, Sayang. Mama ada janji sama supplier Mama, sekalian liat barang-barang baru," jawab Mama. Sudah beberapa tahun belakangan, butik pakaian muslim Mama telah menghidupi mereka berdua. Mama awalnya membuka counter di Pasar Baru Bandung, namun counter Mama terbakar habis karena sebuah insiden kebakaran di Alun-alun beberapa tahun lalu.

Kebakaran itu membuat keuangan mereka morat-marit selama dua tahun. Untung saja, Mama berusaha bangkit kembali dengan berjualan online kecil-kecilan sampai semakin melebar dengan membuka butik di mall-mall. Itulah mengapa Mira pantang melawan Mamanya. Mengingat banyak sekali jatuh bangun yang mereka lalui bersama-sama.

"Mama pingin dibikinin sarapan? Atau Mira bekalin cheese cake, ya?" Mira segera berjinjit untuk mengambil tupperware dari lemari gantung di dapurnya.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Mama dengan nada khawatir, mengindahkan pertanyaan Mira, "nanti telepon Mama aja kalau ada apa-apa. Atau Mama bisa nemenin kamu di rumah. Urusan Mama diurus belakangan aja."

Mira tersenyum menenangkan. "Mira nggak apa-apa, kok. Kenapa Mama mikir Mira kenapa-napa?"

"Setiap kali kamu stres, Mama tahu kamu akan sibuk di dapur. Sudah jadi kebiasaan kamu sejak kamu tahu cara memasak. Bahkan Mama sempat mengira kamu sampai tidur di dapur, saking seringnya ngeliat kamu di sini daripada di kamar kamu sendiri," jelas Mama. Alis Mama berkerut.

Mira tertawa kecil. Dia selesai memotong cheese cake-nya dan memasukkan potongan-potongan kue tersebut ke dalam kotak tupperware. "Setidaknya lebih baik daripada Mira mengonsumsi obat-obatan depresi itu, kan, Ma?"

"Jadi benar kamu lagi stres?" tanya Mama dengan nada suara semakin penuh kekhawatiran. Mira sontak menggeleng.

"Nggak, Ma. Sekarang, Mira main ke dapur bukan berarti karena Mira sedang stres atau gimana. Mira memang hobi memasak," ucap Mira, setengah berbohong.

"Handphone Mama akan selalu aktif buat kamu."

"Mira tahu," balas Mira singkat, kemudian menyodorkan kotak bekal kepada Mama. Mama menerima kotak bekal tersebut dengan ekspresi berat. Mama pasti tahu Mira tidak jujur. Ekspresi Mama ikut melukainya.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari depan. "Aku bukain pintu dulu ya, Ma." Mira segera melepas dan merapikan celemeknya. Buru-buru Mira beranjak dari dapur sambil menarik napas lega dalam hati. I should be thankful to this guest, whoever she/he is.

Mira memutar kunci dan melepas gerendel. Pintu dibukanya dengan ayunan cepat. Sinar matahari masuk, menyilaukan matanya. Cewek itu mengerjap sesaat. Kemudian tak disangkanya seseorang berjaket kulit hitam dan celana jins hitam panjang berdiri di hadapannya. Lengan kanan memeluk helm dan tangan kiri menenteng kotak piza. Snapback dengan padanan warna merah dan hitam bertengger di kepalanya.

Mira melongo. Melongo karena Alandra Septian benar-benar berdiri menjulang di hadapannya. Lebih melongo lagi karena dia berseru, "Pizza hut delivery!"

***

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang