BAB XIV

231 16 6
                                    


Ini aneh.

Alan mendeklarasikan diri sebagai cowok aneh karena seleranya terhadap seorang cewek berubah menjadi aneh.

Tipe cewek favorit Alandra Septian adalah cewek yang melampaui nilai 80-itu pun, nggak semua cewek bernilai di atas 80 akan dipacarinya. Hanya beberapa. Dalam segi penampilan, Alan menyenangi cewek yang bisa merawat diri sendiri. Cewek yang merawat diri dari rambut hingga ujung mata kaki. Karena berdasarkan riset kecil-kecilan Alandra Septian, cewek yang dapat merawat diri sendiri berarti lihai dalam merawat orang lain juga. She will take care of Alan well if she take care of herself first. Jika dia menemukan cewek yang dikategorikan seperti itu, poin 50 sudah ada dalam genggaman cewek itu. Dan sisanya adalah tambahan-tambahan seperti kepribadian atau kelakuan yang nggak bikin ilfil.

Masalahnya dari segi penampilan, Mira sudah dinyatakan remedial. Cewek itu memang punya rambut indah-nilai 20. Mata bulat indah-5. Cekungan mata gelap-minus 5. Bibir pucat-minus 5. Dan berbagai alasan lain yang membuat Alan tidak mengerti mengapa dirinya menilai Mira sebanyak 90.

"Makan sini atau bungkus, Mas?"

Lamunan Alan terbuyar tatkala posisinya berada di deretan paling depan. Sekilas matanya menelusuri daftar paket makanan. Tanpa perlu berpikir panjang, Alan segera menyebutkan, "Paket Super Besar 2 satu, paket Super Besar 1 satu, french fries dua, tambahan perkedel kentangnya juga dua."

"Crispy atau original, Mas?"

"Crispy semuanya," jawab Alan mantap.

Mbak yang menjaga sebagai kasir menyebutkan total harga pesanan yang tertera di mesin kasir. Alan menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan.

"Gue mau paha dan dada Mbak. Mbak dadanya gede, nggak?"

Mungkin, intonasi penyebutan Alan terdengar ambigu. Karena selanjutnya Mbak yang melayaninya mematung di tempatnya berdiri dan mengerjap malu-malu.

Oh, sial!

"Sori, Mbak, gue salah ngomong! Maksud gue, paha dan dada ayam, bukannya..." paha dan dada Mbak. Ataupun paha dan dada Mbak yang gede. Alan menyelesaikan kalimat tersebut dalam hati.

Alan segera ngacir setelah pesanan dan kembaliannya diberikan. Menuju Nonot yang sudah menunggu di salah satu meja. "Gara-gara pesanan dada dan paha elo, Not. Gue jadi dianggap om-om cabul sama kasirnya," gerutu Alan tatkala dia meletakkan nampan di meja.

Nonot langsung nyengir. Tangannya mengulur untuk meraih bagian piring nasi dan ayam. "Yang salah ngomong kan kamu. Kok malah aku yang disalahin?" protes Nonot. Dia mencubit kulit dada ayamnya dengan tangan kanan. Asap tipis menguar ketika Nonot memisahkan kulit ayam garing tersebut dari daging. Aroma minyak ayam yang merambat menuju indra penciuman menggetarkan dinding perut mereka. "Thanks ya Asep atas traktiran ini. Sering-sering kalah ya."

Alan mencolek daging ayam ke dalam saos dan melahapnya. "Padahal gue janji begitu karena yakin kita pasti menang. Kalo aja gue nggak berantem dulu sama preman-preman di Dago, gue yakin kita pasti bakal lolos seleksi."

"Lah, kamu sih, kerjaannya berantem mulu."

Memang, track record Alandra Septian banyak dipenuhi oleh perkelahian-perkelahian (selain diisi pelanggaran aturan sekolah). Tapi, kan, itu dia lakukan untuk membela diri, bukan karena dia ingin! Kelemahan paling mendasar cowok itu memang terletak pada bagaimana dia mengontrol emosinya. Yang sering berakhir dengan perkelahian dan justru semakin memperburuk keadaan.

"Tapi, set kedua kemarin kita mainnya bagus banget. Lumayanlah kalau kubilang," jelas Nonot sumringah.

"Ya, gue bisa lihat. Walaupun masih nggak nyangka gue, tim prestasi bakalan nyari jalan kotor buat menang. Mereka mencelakakan gue lewat Galih. Nenek-nenek kayang yang nonton pertandingan kemarin juga pasti bisa nyadar."

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang