BAB XV

154 18 4
                                    



Selain keabnormalan tungkai, Alan tidak menemukan keanehan lain pada diri Mira. Terkadang Alan penasaran juga apa jenis penyakit yang menjangkiti Mira sampai-sampai dia harus mengonsumsi obat seumur hidup. Parahkah? Separah yang sering dibahas dalam film-film romantis yang selalu dinonton kakaknya malam-malam sambil nangis-nangis?

But, she just looks so fine.

Orang yang kelihatan baik-baik saja biasanya menyimpan kesakitan terdalam di dasar hatinya, sih.

Lamunan itu membuat Alan tidak menyadari kalau dia telah mengendarai motornya di area terlarang yang cuma boleh dilalui satu arah. Dia baru saja akan mutar balik, tapi bapak polisi sudah berada di sebelahnya dan menyuruhnya menepi.

Mampus gue.

Alan seharusnya sadar, ini kan sudah masuk akhir bulan, ketika saldo tabungannya sudah menipis dan para polisi sedang memperketat penjagaan!

Alan menepikan motornya di bawah pohon rindang yang ketika itu dedaunannya bergerak liar tertiup angin kencang. Bapak polisi mengekor dari belakang dan memarkirkan motornya kira-kira dua jengkal dari motor Alan. Cowok itu menebar senyum ramah sembari berdoa dalam hati semoga bapak polisi itu tiba-tiba terpesona dan membiarkan cowok itu pergi dari sini.

"Mana SIM dan KTP kamu?" tanya bapak polisi dengan nada tak ramah.

Alan menelengkan kepalanya heran. "Bukannya Bapak seharusnya bilang 'selamat siang, apakah Anda tahu kesalahan Anda' seperti yang di televisi itu?"

Wajah bapak polisi semakin kecut. Seharusnya gue menaruh rem di mulut gue, biar kalau ngomong kagak ngegas mulu.

Dari papan nama yang melekat di dada kanan, bapak itu bernama Rosyid. Beliau berdiri tegap dan menantang, walaupun, tubuhnya agak lebih pendek daripada Alan. Mungkin hanya cukup sampai telinga Alan saja. Alan menebak Pak Rosyid pasti sedang bad mood abis. Garis bibir Pak Rosyid melengkung ke bawah, kumis tipis memagari area filtrumnya. Seolah-olah beliau memang tak pernah tersenyum selama beberapa tahun terakhir.

"Ini STNK saya, Pak. Tapi saya nggak bawa SIM dan KTP," tutur Alan. Tepatnya, dia tidak punya. Dia juga tidak memiliki KTP atau SIM bohongan yang membuat umurnya lebih cepat dua tahun. Papanya pasti tidak akan mengizinkan. Dan kadang-kadang Alan memang sejujur itu.

Pak Rosyid membolak-balik STNK Alan sambil mengecek apakah yang tertera di dalam STNK sama dengan motor yang dipakai Alan. Beliau mengangkat kepala, "Kamu tahu apa artinya?"

Alan mengangguk lemas. "Bapak akan menilang motor saya."

"Tenang, urusan bisa dipermudah kok," pungkas Pak Rosyid.

Alan tahu apa yang dimaksud Pak Rosyid dengan mempermudah urusan, segera cowok itu menimpali, "Nggak apa-apa, Pak. Saya minta slip biru aja."

"Tapi, kalau saya nilang kamu, kamu bisa bayar denda yang besar. Bisa sampai sejuta lebih!"

Alan mengerutkan kening heran. "Lho, kan udah menjadi kerjaan Bapak di sini buat menilang saya dan membayar denda, kan? Mengapa saya malah dipersulit buat didenda?"

Pertanyaan itu membungkam Pak Rosyid. Garis-garis kekesalan makin ramai mengisi kontur wajahnya. Diraihnya surat tilang dari jepitan motor dinas. Setelah memproses identitas Alan dengan cepat dan menjelaskan jenis pelanggaran—Pak Rosyid tidak bermain-main dengan jenis dendanya, pasal berlapis tentang pelanggaran lalu lintas dan ketiadaan SIM, makin mampuslah!—Pak Rosyid segera melengos tanpa mengucapkan selamat siang sekalipun.

Namun, entah mengapa, Alan merasa menang.

Kesenangan itu tidak berlangsung lama. Apalagi ketika matanya tertuju pada slip biru yang ada pada genggamannya. Dia harus memikirkan cara agar si Ninja bisa diambil lagi.

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang