BAB IV

220 23 0
                                    

Tidak ada yang bisa menandingi kenikmatan bermain voli sampai bermandikan keringat, asem, kemudian langsung menamparkan air hangat ke sekujur tubuh, wangi, apalagi sambil mencuri sabun cair aroma mangga punya kakaknya yang katanya mahal itu. Alan keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar. Handuk menggantung di pinggang. Rambut basah menitikkan air di pundaknya.

Seketika, Alan yakin dia berubah menjadi lebih ganteng sebanyak sepuluh persen.

Perasaannya membaik. Tadi siang, saat dirinya dipanggil oleh Bu Seroja ke ruang BP, adalah saat-saat di mana mood Alan dibantai habis-habisan. Ketika Alan duduk dengan canggung di kursi persidangan, tatap-tatapan dengan Bu Seroja, Alan jadi berubah mati kutu. Bagaimana tidak mati kutu, tiba-tiba saja Bu Seroja bisa mengungkit semua kesalahan Alan selama setahun terakhir ini hingga tadi pagi, waktu dia membolos di UKS.

Heran, ya. Alan curiga guru-guru di sekolah punya laman Facebook khusus anti Alan. Yang lamannya selalu aktif tiap kali Alan bikin masalah. Contohnya saja kejadian tadi, Alan membayangkan, guru-guru bakal update: [NEWS] Tak Mengikuti Aturan Berseragam, Alandra yang Ganteng Itu, Bolos di UKS.

Dan Alan mulai menerka-nerka mengapa Bu Seroja nampak begitu membencinya ketika kemudian sebuah fakta bahwa nama Bu Seroja berasal dari Alan menghinggapi pikirannya.

"Halo? Kamu dengar saya, Alandra Septian?" Bu Seroja kelihatan tidak senang.

"Halo juga, Bu. Iya, saya denger kok, Bu."

Bu Seroja menarik napas. "Untung kamu atlet sekolah ini, Alandra. Setidaknya ada yang sekolah ini bisa banggakan karena kamu. Kalau tidak, saya nggak akan segan-segan mengeluarkan kamu dari sekolah semenjak kali pertama kamu membuat masalah. Pelanggaran yang kamu lakuin udah banyak banget. Mulai dari..."

Bu Seroja mengurutkan pelanggaran-pelanggaran itu sejak Alan masuk sekolah sebagai murid pindahan setahun yang lalu. Bolos kelas, nyontek, mengejek guru (untuk yang satu ini, yang bikin Bu Seroja dendam banget), memakai sepatu futsal berwarna neon selama berada di sekolah—peraturan mengharuskan sepatu kets warna hitam polos tanpa corak, menonton film nggak senonoh—sebenarnya dilakukan bareng-bareng tapi entah kenapa cuma Alan yang kena, mungkin karena laptop dengan koleksi terlengkap cuma Alan yang punya, tawuran dengan sekolah sebelah, dan terakhir, bolos di UKS dan kedapetan Bu Hartini.

"Karena itu," putus Bu Seroja seolah-olah sedang ketok palu, "kamu harus menjalani detensi. Perpustakaan membutuhkan tenaga kamu setiap jam istirahat dan pulang sekolah. Sebulan penuh. Saya harap perpustakaan bisa menjadi tempat yang baik untuk menahan kamu ngelakuin hal-hal tidak diinginkan."

Aaaaarrrgh.

"Kamu seharusnya berterima kasih. Saya bisa saja memberi kamu hukuman lebih parah daripada itu."

"Iya, makasih, Bu," Alan mendesah.

Bad news.

Seketika mood Alan turun drastis. Alan tidak jadi menyusul teman-temannya bermain futsal. Setiap kali bad mood, Alan bakal memacu si Ninja ke lapangan voli kepunyaan klub ALKO di Pasar Kosambi dan latihan voli sampai capek dan asem. Padahal, jarak antara Dago ke Ahmad Yani lumayan jauh, sampai-sampai Alan terkantuk-kantuk dan nyaris nyerempet mobil.

"GOR ini bukan taman hiburan yang kamu jadikan pelarian tiap kamu nggak beres, Alandra," hardik Kang Kus, salah satu coach ALKO. Alan hanya cengengesan. Dia tetap ikut nimbrung latihan kelompok berprestasi. Di klub ALKO, anggota dikelompokkan berdasarkan skill. Kelompok berprestasi berisikan mereka yang punya bakat dan sering diikutkan lomba. Kelompok amatir terdiri atas mereka yang lumayan memiliki skill, Alan termasuk di dalamnya. Dan terakhir, bagi yang belum memiliki skill mumpuni namun tetap ingin berkecimpung dalam dunia voli, dimasukkan ke dalam sekolah voli.

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang