BAB V

169 20 0
                                    

01.00 PM Rapat bareng anak danus

Mira memberi tanda centang di sebelah jadwal dalam buku biru. Dengan satu gerakan, buku biru itu ditutupnya. Sambil ujung jarinya mengelus tekstur beludru sampul buku birunya, Mira mengamati seluruh penjuru kantin. Kantin sudah sepi. Sebagian besar counter tutup lebih cepat karena salat Jumat. Hanya terlihat seorang petugas kebersihan menyapu lantai ubin.

Selain Mira, ada juga Dalia yang tengah duduk di bangku yang dipakai Rifan kemarin.

"Rambut kamu dikepangin atau kamu yang ngepangin? Cakep deh. Dari tadi aku ngeliatin terus," tanya Dalia sambil menjulurkan tangan, berusaha menyentuh ujung rambut Mira. Mira menghindar ke belakang. Menolak disentuh.

"Mamaku yang ngepangin tiap pagi buta."

"Wow, I envy you. Such a lovely mummy," puji Dalia dengan senyum lebar. "Modelnya nggak asing, by the way. Kalau nggak salah kayak—"

"Prim dari Hunger Games."

"Oh, ya! Itu model rambutnya Prim!" sahut Dalia riang. Baris giginya yang putih dan senyumnya yang hangat semakin mencerahkan siang itu. Seandainya Mira bisa dilahirkan kembali, Mira ingin menjadi Dalia. Atau menjadi Rifan, apabila Tuhan bermaksud melahirkannya kembali menjadi laki-laki. Keduanya memiliki senyum memikat dan daya tarik masing-masing yang dapat menarik orang untuk berada di sekitar mereka. Aura mereka bersinar. Seolah benda-benda langit sedang meminjamkan cahanya kepada mereka.

Mira mengeluarkan novel Harry Potter yang dipinjaminya dari perpustakaan dan mulai membaca. Setidaknya, Mira harus mencari cara agar Dalia tidak memulai percakapan dengannya lagi. Mira takut berlama-lama berbicara dengan Dalia akan memaksanya bercerita tentang diri Mira yang sebenarnya. Dalia sama halnya dengan penyedot informasi.

Mata Mira memberat, seolah sedang digelantungi peri kantuk, yang mulanya hanya datang pas jam pelajaran doang. Deskripsi novel yang dibacanya terlalu tumpah ruah sehingga Mira merasa pikirannya melayang-layang dan mengantuk. Mira menguap dan...

"WOY!"

...meloncat dari bangkunya.

Jantung Mira hampir ikut meloncat keluar juga. Cewek itu menemukan Alandra Septian tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresinya yang pasti sangat menggelikan.

"Sori, sori," kata Alan dengan senyuman geli. Alan menarik bangku di sebelah Mira dan duduk. Dia tidak sendirian. Lexie ikut mengekor dan meletakkan ranselnya di atas meja. Lexie duduk di sebelah Dalia. "Maneh nggak marah kan kalau urang ikutan?"

Dalia mendorong lengan Lexie dengan ekspresi sedikit mengusir. "Sorry, ya. Outsiders nggak boleh ikutan."

"Kagak apa-apa kali, Dal. Kali aja si Lexie punya ide segar buat kita," bela Alan.

"Bener banget, kata sahabat Lexie kita yang satu ini."

"Oh, ya? Terakhir kali denger dia ngusul tempat liburan, dia malah bilang terong-terongan. He's going to waste our time," balas Dalia dengan nada sinis.

"Bercanda kali. Baper amat ih, Neng Dalia," rayu Lexie sambil menyenggol Dalia.

"Sorry, ya, aku nge-ban kata baper dari alam semesta ini. Anak-anak zaman sekarang tuh hobi banget menggunakan kata baper untuk membenarkan tindakan mereka yang salah!" Dalia memprotes.

"Maafkan saya, Ndoro..."

Alan terbahak.

Sebenarnya, Miralah yang merasa menjadi outsider. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengajak ataupun melirik dan merasakan kehadirannya ketika mereka sedang berkumpul. Mira seperti seorang penonton sebuah film remaja. Pengamat yang tak punya peran mengubah alur cerita film.

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang