Da-darah.
Tubuh Mira merosot pada dinding kamarnya. Telapak kaki kanannya nyeri. Pecahan beling kecil masih tertancap di tumitnya, merobek kulit, mengucurkan darah segar. Dengan menggunakan kuku, Mira mencongkel beling itu. Ringisan tak terhindar dari belah bibirnya. Tubuh Mira bergetar hebat. Dan penyebab gemetar tersebut semata-mata bukan karena kenyerian yang ia rasakan.
Darah tetap merembes walaupun pori-pori tisu sedang menjalankan tugasnya untuk menyerap. Warna merahnya yang pekat merangsang bulu kuduk Mira berdiri. Dia tidak pernah suka dengan darah. Bukan tidak suka lagi, melainkan benci. Benci yang telah mengakar di dalam hatinya. Setiap Mira melihat darah, bahkan darah haidnya sendiri, dia akan diingatkan kembali dengan ayahnya yang tertatih, sembilan tahun lalu, bersimbah darah dalam pelukannya sendiri. Juga fakta bahwa dirinya adalah seorang monster.
Mira ngerasa kotor.
Tangannya kemudian menggapai-gapai meja belajar. Sebagian buku-buku pelajarannya jatuh berserakan di lantai. Sial. Semuanya kacau.
Mira mengerjap. Matanya kemudian nanar menyusuri barang-barang di atas meja. Dia membutuhkan pemantik api. Kalau sudah begini, Mira selalu bergantung pada api. Api!
Karena api akan melenyapkan darah tanpa sisa.
Api disulutnya setelah menemukan pemantik di sudut meja. Cahayanya memantul di manik mata. Didekatkan ujung api pada kertas tisu berbercak darahnya, membiarkan api membakar kertas tisu tersebut hingga mewujud debu. Dengan debu mengotori lantai, Mira akhirnya bisa bernapas lega. Tidak lagi ada darah dalam pandangannya.
Tidak ada lagi perasaan kotor maupun bersalah yang menohok dalam hatinya.
Aksi tersebut terus diulanginya sampai pendarahan pada telapak kakinya terhenti. Lekas-lekas, Mira membalut telapak kakinya hingga tak ada sedikit pun bekas darah yang tersisa.
Kamu adalah pahlawan, Sayang. Kamu seperti Saras 008.
Pahlawan, huh?
Mira tertawa parau. Pahlawan tidak akan pernah ketakutan dekat-dekat orang lain. Pahlawan tidak akan takut saat terluka. Pahlawan tidak membunuh.
Entah apa yang sedang dipikirkan teman-temannya setelah menyaksikan sisi Mira yang sebenarnya. Menganggapnya mengerikan, mungkin? Dia belum siap menjadi orang terbuka. Dia belum siap dilihat. Setelah mencuci muka dan memantapkan hati, Mira membuka pintu kamar. Ini harus menjadi terakhir kali Mira mengajak orang lain ke rumahnya sebelum tindakan lebih parah terjadi...
"Al, lo udah nggak apa-apa?"
Di sanalah dia menemukan Alan. Alan duduk bersandar di dinding dekat pintu kamar Mira. Wajahnya menyeruakkan kekhawatiran.
"Iya."
"Al, sorry."
Alandra Septian tidak boleh dekat-dekat dengannya lagi. Ini baru saja kejadian pertama. Pastinya, kemungkinan bahwa kejadian berikutnya akan tiba selalu ada. Mira tidak boleh lengah. Keputusan terbaik adalah membentengi diri sendiri.
"Pecahan tadi udah temen-temen beresin. Dibantu anak-anak lain. Sekali lagi gue minta maaf," ujar Alan penuh kejujuran.
"Udah diberesin?"
"Iya. Semuanya bersih karena elo langsung...," Alan agak meragu, "elo langsung histeris dan... kabur."
Pandangan Mira menerawang.
"It's okay, Al. Gue kagak akan nge-judge lo seumpama lo punya trauma atau punya phobia. Serius. Semua orang kan punya masalah masing-masing." Alandra mereguk ludah. "Gue ngerti, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way Out
Teen FictionMisi hidup Almira Putri Sartika adalah menghindari orang-orang. Dengan itu, Mira bisa melindungi orang lain dan dirinya sendiri. Mulanya Mira berhasil dengan berpura-pura menjadi cewek introvert, namun Rifan, ketua kelas XI MIA 1, malah mengacaukan...