BAB I

422 36 5
                                    

Berpura-pura menjadi cewek introvert itu melelahkan. Apalagi jika kau punya segudang jenis protes di kepalamu.

Seperti bagaimana Mira menahan untuk tidak mengomentari obrolan geng bercelak mata tempo hari—Mira menyebut mereka sebagai geng celak mata karena mereka tidak memiliki kepercayaan diri untuk keluar dari kamar jika belum menyapukan warna-warna pada kelopak, atau garis hitam pada garis mata mereka. Dan yang benar saja, kontestan tuna rungu dalam America's Next Top Model cycle 22 itu bernama Nyle, dengan pelafalan Nail, bukannya Nil!

Belum lagi, sepasang anak di bangku depan Mira, Luki dan Nia, sering memperdebatkan cara menyelesaikan soal matematika, fisika, dan pelajaran-pelajaran eksak lainnya. Mira gemas. Karena kebanyakan dari perdebatan tersebut, keduanya tidak menyebutkan jawaban yang benar.

Meskipun gemas, jangan harap Mira punya keberanian untuk protes.

Mira sudah berhati-hati selama setengah semester ini agar tidak berbaur dengan teman-teman sekelasnya seperti yang tertera dalam misi nomor satu. Mulanya Mira berhasil. Tidak sampai sebuah pengumuman tiba-tiba mencuat. Dua bulan sebelum UTS semester genap, Rifan, ketua kelas MIA 1, menepuk papan tulis dengan penggaris kayu untuk menarik perhatian sekelas. Rifan mengumumkan bahwa kelas mereka akan mengadakan liburan kelas selepas UTS nanti. Mira seketika mengaduh dalam hati. Like, seriously?

Tentu saja, dia tidak bakal datang!

"Jadi, kesepakatan kelas gimana, nih? Kita nyepakatin tempatnya dulu deh, baru panitianya," seru Rifan dengan suara lantang. "Ayo, teman-teman, waktu kita nggak banyak."

Kelas jadi krasak-krusuk. Banyak yang mengeluhkan mengapa Rifan mengambil jam istirahat untuk membahas masalah kelas. Dengan tenang, Rifan menjawab serangkaian protes itu, "Kalau mau istirahat, ayo dong semua berkonstribusi dalam rapat. Biar rapat ini cepat selesai. Oke, ada pendapat?"

"Bali!" sahut Lexie. Mira yakin cowok itu tidak serius mengusulkan tempat. Dari Bandung ke Bali? Kenapa dia nggak mengusulkan London sekalian agar usulannya terdengar semakin mustahil?

"Lombok!" imbuh Bayu. Hah, he tried to be funny.

"Bawang!" Lexie menahan tawa. Kali ini Mira sudah memutar mata.

"Cabe!"

"Cabe-cabean!"

"Terong-terongan!"

"Ih cowok-cowok alay bingit!" salah satu cewek dari geng bercelak mata menyahut. Diikuti koor 'ewwwh' yang dipimpin oleh Anggita, cewek tercantik di kelas dan termasuk dalam geng bercelak mata. "Garing, deh. Kasian!"

"Dasar cabe!"

Kelas menjadi gaduh. Rifan tanpa ampun memukul papan tulis dengan penggaris kayu lagi. "Tolong yang kondusif, teman-teman. Mau istirahat, nggak?"

Perdebatan mengenai tempat makrab terus berlangsung. Mira menenggelamkan kepalanya di atas meja. Menumpuk buku-buku tulis di atas kepala dan berpura-pura tidak mendengar serta tidak peduli. Toh kemanapun kelasnya akan pergi, Mira tidak bakal ikut. Tepatnya, dia tidak boleh ikut.

"Ya udah, gini aja, kita buat aja panitianya dulu. Walaupun panitia udah terbentuk, tidak menutup kemungkinan yang lain juga ikut membantu. Setuju?"

"Setuju aja deh! Yang penting istirahat!"

Perang kelas kedua terjadi melanjutkan perang pertama tadi. Semua anggota kelas cowok ingin masuk divisi konsumsi, rebutan dengan anggota kelas cewek. Sempat ada keributan sesaat. Dan Mira tetap tidak peduli.

"Kalau Almira aja, gimana?"

Eh? Kayaknya sekilas aku denger namaku dipanggil deh.

Semua mata tertuju kepada Mira. Gadis itu dibuat gelagapan. Matanya berkedip-kedip cepat. Siapa tahu sekedip kemudian, perhatian teman-temannya kini hanyalah halusinasi semata.

Kabar buruknya, tidak.

"Almira setuju, kan?" Rifan mendesak sambil menarik senyum manis. Senyum yang membuat Mira segan. Kelas makin senyap. Terlalu banyak perhatian menyebabkan kepala Mira menjadi blank seketika.

Ayo jawab tidak. Ayo jawab tidak. Sebaris kalimat terngiang-ngiang dalam pikiran Mira. Seolah-olah ada sosok jahat sedang membisiki telinganya. Namun, penolakan itu lenyap ketika perhatian teman-teman kelasnya menyenter Mira bagaikan lampu depan mobil. Membuat Mira membeku ditengah-tengah jalan raya, seperti seekor rusa yang ketahuan, dan mau tidak mau melakukan tindakan bodoh seperti...

"I—iya." Mengiyakan ajakan berbahaya tersebut.

Bodoh! Bodoh! Bodoh!

"Oke, jadi diputuskan divisi danus makrab kita beranggotakan Almira, Alan, dan Dalia. Koordinatornya Dalia. Ini fix ya. Dalia cepet-cepet bikin rancangan danus biar anak kelas bergerak, oke?"

Apa? Danus? Danus itu apa?

"Siap, Bos!"

Apanya yang siap?

Pikiran Mira masih sepenuhnya blank ketika bel pertanda pelajaran Matematika berdering dan semua anak mengaduh kesal. Seseorang menepuk pundaknya, menariknya dari pertengkaran batin. Mira mendongak dan menemukan Dalia sedang berdiri menjulang di sebelah mejanya. Dalia tersenyum manis.

"Almira, pulang sekolah sebentar kita ngumpul ya. Ada yang mau kubahas. Jam dua teng di kantin. Gimana?"

Gimana yang ditanyakan Dalia nyaris sama artinya dengan: kamu nggak punya pilihan lain, pokoknya harus datang pada waktu yang sudah ditetapkan. Soalnya, begitu mengatakan kalimat itu, Dalia balik ke bangkunya.

Bu Maryani masuk ke kelas dan segera memulai pelajaran dengan mengadakan kuis kecil dadakan. Mira meremas jemarinya khawatir. Matanya yang menyiratkan kekhawatiran disembunyikannya dengan menunduk dalam-dalam. Jelas, ketakutan menyergap.

Mira takut harus berurusan dengan orang.


***

Sekali lagi, karya ini bukan mengulas tentang romantisme remaja secara mendalam. Ada, sih, tapi nggak mendalam. Karya ini lebih ditujukan untuk memberikan manfaat kepada para remaja aja. Agak melenceng dari trend yang ada :").

Thank you so much for reading this <3 Any comments would be so lovely

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang