BAB VII

155 14 0
                                    

Minggu pagi yang cerah, Mira dihinggapi kabar buruk saat dia bersusah payah mengeluarkan sepedanya dari garasi. Rantai sepedanya putus. Bersepeda pagi dicoret dari jadwal Minggu, diganti dengan jogging pagi keliling kompleks.

Dago di pagi hari menguarkan temperatur sejuk yang memperlambat sekresi keringatnya. Earphone tersumbat pada kedua telinga, mengalunkan album Jason Mraz yang berdentam ceria. Jalanan sepanjang Ir. Juanda cukup ramai. Apalagi setiap Minggu pagi event Car Free Day diadakan. Pesepeda, orang yang sedang jogging seperti Mira, dan penjaja makanan yang tengah berpromosi menyemut di jalanan. Di sebelah kiri Mira tampak pedagang kaki lima berjejeran memperdagangkan berbagai makanan—seblak, ketoprak, roti bakar—dan minuman seperti es doger. Pedagang pernak-pernik keliling tidak luput dari perhatian, terutama perhatian anak-anak kecil.

Segala kenormalan yang ada di sekitarnya membuat Mira merasa lebih baik.

Rambut ekor kudanya berayun seiring dengan langkah kecil Mira menelusuri kompleks. Mira merapat ke bagian kiri, membiarkan orang-orang mendahuluinya kemudian menepi seiring jalanan semakin ramai. Baru saja dia akan mencari tempat duduk di taman terdekat saat pandangan Mira jatuh pada seekor kucing putih kotor yang meringkuk di bawah gerobak bakso. Pandangan mata sayu kucing itu kelihatan sangat familiar—

"Putih!"

Itu reinkarnasi Putih! seru Mira dalam hati. Kucing yang sedang mengeong kepada si Mamang penjual bakso itu mirip banget dengan kucing Mira yang sudah mati sembilan tahun lalu.

Seolah-olah mendengar seruan Mira, kucing yang dipanggilnya dengan sebutan Putih, berdiri. Keempat kakinya gemetaran hebat. Si Putih mendekati sepatu si Mamang dan mencakar-cakar tali sepatunya seolah-olah tali sepatu si Mamang adalah rumbai mainan.

"Ganggu aja si meong!" dengan tak berperasaan, si Mamang Penjual Bakso menendang si Putih sampai longsor ke selokan.

Ih! Dasar Mamang nggak berperikehewanan banget. Andai posisi kebalik, Mamangnya yang ditendang sama kucing, mau emang!?

Mira melongok. Selokan tempat jatuhnya si Putih cukup dalam. Kira-kira lebih tinggi daripada Mira. Cewek itu menoleh ke kanan dan kiri, mencari sesuatu yang bisa menolong si Putih untuk merangkak naik, tetapi tidak menemukan apa pun sehingga kembali lagi Mira melongok.

Duh, mana selokannya berdasar tanah basah lagi. Belum baunya yang kebangetan.

"Ngapain lo nongkrong di pinggir selokan, Kecengan Rifan?"

Bulu kuduk Mira berdiri tatkala mendengar nama Rifan disebut. Mira mendongak ke arah suara itu. Suara yang berasal dari seorang cowok yang kini berdiri tak jauh dari Mira. Cowok itu mengenakan jersey berwarna biru terang. Bola basket bertengger pada lengan kirinya. "Hoi? Apa gue sebegitu mempesonanya sampai lo nggak bisa berkata-kata?"

Alandra Septian.

Ugh. Mira tahu Alandra Septian adalah seorang flirty guy. Titisan dari Dewa Yunani Narcissus. Tapi bukan berarti seluruh planet mengitarinya dan menjadikan dirinya sebagai pusat, kan? Setidaknya Mira tidak.

Cowok itu ikut berjongkok dan mengikuti arah pandang Mira. "Kucing lo nyungsep, Kecengan Rifan?"

"Bukan," jawab Mira jujur.

"Oh," gumam Alan. "Terus?"

"Nggak apa-apa."

"Terus, kenapa lo malah duduk-duduk cantique di sini, Kecengan Rifan?"

"Nggak apa-apa. Kamu kenapa di sini?"

Cowok itu menunjukkan bola basketnya. "Gue sedang mengejar bola dan nggak sengaja bola basketnya mengarah ke elo."

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang