BAB XII

147 19 4
                                    


"Mira! Kamu bawa uang hasil ngamen, nggak? How much?"

Mira menaikkan dagu. Melepas perhatiannya dari buku biologi ke arah Dalia. Mira lalu memutar tubuh, mencari-cari sebuah amplop dari tas ranselnya yang bertengger di sandaran bangku. "68.500."

"Serius?!" Lexie muncul tiba-tiba dari balik Dalia. Cowok itu menabuh meja seolah sedang menabuh genderang. "Yes! Aing menang taruhan! Siap-siap aja, Lan, maneh bakal sengsara! Hahaha!" Lexie menarik diri dari bangku Mira, mendekati Alan yang sedang duduk di barisan bangku sebelah. Alan memasang wajah masam. Lexie menggeleng sambil menepuk bahu Alan. "Makanya, kamu teh jangan bermulut besar..."

"Lah, bukannya elo yang punya mulut selebar joker?"

"Sialan!"

Mira tersenyum tipis tatkala menyaksikan kedua sahabat itu bergulat. Tanpa sengaja, mata Mira dengan Alan bertemu. Sontak Alan menyunggingkan senyum lebar yang entah mengapa menyebabkan jantung Mira berdegup kencang.

Duh, bisa gawat kalau begini terus!

"Kamu mau ke mana, Mir? Nanti kan ada ulangan biologi," tanya Dalia ketika mendapati Mira sedang mengemas buku-bukunya.

"Aku..." Mira berpikir. "Aku nggak bisa konsen menghapal di tempat yang berisik."

Dengan alasan tersebut, Mira berhasil kabur dari kelas. Menghindar. Dia putuskan untuk mendatangi tempat rahasianya. Everyone has a secret place, right? Untuk Mira, tempat itu adalah taman kecil yang di apit ruang guru dan laboratorium IPA.

Mira meletakkan buku-bukunya di meja bundar retak yang terbuat dari besi berkarat dan duduk di salah satu kursi besinya. Pandangan Mira kosong, lurus menatap sela-sela dedaunan pohon ketapang yang ditembus cahaya matahari. Karena kini sedang musim kemarau, dedaunan lebar dari pohon tersebut menguning, lepas dari dahan, dan berayun turun ditiup angin. Terkadang dedaunan itu berkumpul di atas kanopi. Tak jarang juga langsung jatuh lalu hancur melebur menjadi partikel-partikel tanah.

Buku pelajaran biologi terbuka di atas meja. Menampakkan beberapa gambar sel-sel darah berbentuk seperti permen kunyah.

Dia memanfaatkan waktu istirahat yang tersisa untuk merapal.

"Jadi di sini toh tempat kamu selalu bersembunyi."

Kepala Mira mengedik. Menemukan Rifan berada dalam jangkau pandangnya. Tangan kanan Mira terkepal tanpa dapat ia kendalikan. Mau apa lagi Rifan ke sini? Apa cowok itu tidak lelah mengikuti kemana pun Mira melangkah?

"Kalau kamu mau nyari tempat buat ngelakuin hal pervert, ini bukan tempat yang tepat," ujar Mira dingin.

Rifan tertawa kecil. "Saya terus terang kaget kamu sudah bisa melawan," katanya di sela tawa. Beberapa detik berselang, tawanya berhenti, "tapi, yah sayang sekali, ini berarti saya harus nyari tempat lain lagi."

Kedua mata Mira membelalak. Cowok itu belum kapok?

"Nggak usah kaget begitu, dong. Sebenarnya tadi saya cuma ke ruang guru. Ngasih formulir pendaftaran ketua osis ke wakil kepala sekolah kita. Saya tidak sengaja menemukan kamu di sini. Kamu pikir saya akan mengulangi kesalahan itu lagi?"

"Oh, ya? Mereka bilang kebiasaan tidak bisa diubah. Apalagi kebiasaan jelek," balas Mira dingin. Mira tidak mengerti dari mana dia mendapatkan keberanian mengutarakan isi pikirannya.

"Udah berubah kok. Sering-sering begitu bisa bikin bosen. Hanya ya, ceweknya yang malah nagih. Saya mah bisa apa atuh kalau disodorin daging segar begitu," kata Rifan sambil menepuk bangku di seberang Mira, mengusir debu. Mira mengernyit jijik. Sering-sering begitu? Jadi, cowok itu ngelakui itu dengan sering?

"Bisa, nggak, kita nggak ngomongin ini?"

"Kamu yang memulai. Saya sih nggak bermaksud." Rifan lantas duduk dan menyandarkan pundaknya pada sandaran bangku.

Mira menggigit bibir bawah. Berusaha sekuat tenaga menahan gumpalan kesal yang membuncah di dalam dada. "Kamu sudah tahu kan free sex itu nggak baik?"

Rifan melempar tatapan sinis. "Saya tidak perlu seorang lagi buat nyeramahin hal buruk atau baik. Semua anggota keluarga saya mendikte seperti itu sejak kecil. Rifan harus begitu dan begini. Didikte begitu, membuat saya jadi penasaran bagaimana rasanya melakukan hal yang menurut mereka, dan kamu juga, tidak baik," tutur Rifan panjang lebar, "setelah saya sudah merasakan hal yang tidak baik itu. Saya nyadar. Yang nggak baik memang nikmat, ya?"

Mira terpukau atas penuturan Rifan tersebut.

Tapi Rifan tidak juga memberikan tanda-tanda akan berhenti, "Tenang aja, kalau kamu khawatir, yang saya lakukan bukannya free sex. Berhubungan di dunia maya tidak termasuk free sex, kan? Setidaknya saya tidak akan tertular AIDS, misalnya, melalui jalur dunia maya karena saya bergonta-ganti partner. Ini jenis seks yang aman. Lagian, ayolah, banyak kok yang seumuran kita, malah lebih muda, yang nyari kepuasan dengan cara seperti itu. Ini sama dengan menonton video porno, tapi kali ini ceweknya bisa saya raih," jelas Rifan dengan enteng, "ini cuma bagian dari kehidupan yang bakal lewat."

Dipandanginya Rifan dengan terperangah. Mira menggeram marah. Letupan-letupan serupa lava memecah dalam hatinya.

"You know, she killed herself."

"Apa?"

"Aku pernah membaca berita tentang cewek yang... videonya tersebar di internet karena ngasih videonya ke sang pacar. Dan dia bunuh diri karena seluruh dunia ngelihat bagian terintimnya. Padahal, di sekolahnya, dia dikenal sebagai orang baik," Mira mendengus, dan tanpa bisa dia hentikan lagi, kata-katanya meluncur, "dan bisa jadi kejadian yang sama akan terjadi sama cewek yang kamu ajak itu. Jangan karena kamu nggak punya hambatan hidup yang berarti, kamu malah ikut ngehambatin hidup orang. Kukasih tahu ya, perbuatan kamu itu bukanlah bagian dari kehidupan yang bakal lewat, tapi bisa jadi batu besar yang akan menghancurkanmu dan orang lain!"

"Kamu lagi PMS? Kamu kok jadi sensi begini? Toh, saya tidak membocorkan foto-foto mereka. Kenapa? Karena saya juga menghargai mereka," jelas Rifan, terheran-heran.

"Ngehargain?" Mira sudah tak dapat mengontrol mulutnya lagi. "Kalau kamu benar-benar ngehargain, nggak akan mungkin kamu meminta privasi cewek-cewek itu."

Segera, Mira mengemas buku-bukunya dan berlari menjauhi tempat itu. Tempat yang sudah bukan tempat rahasianya lagi. Juga tempat di mana dia mematahkan tameng introvert-nya. Rasa pusing bercokol di dalam kepala. Mira segera melesat masuk ke dalam UKS yang saat itu sedang kosong. Dirogohnya sebuah botol kecil berisi kapsul-kapsul dari saku rok, bukan, bukan botol yang ini.

Tidak ada sedikit pun penyesalan karena telah menyemburkan kata hatinya di hadapan Rifan. Rifan memang sudah keterlaluan.

Mira memeluk lututnya sendiri. Sekujur tubuhnya mendingin, disaat krusial seperti itu, keinginannya untuk memutus urat kehidupannya semakin memuncak.

Oh, perasaan ini lagi...

***



Should I just continue or Should I just not? >_<


*no one actually cares, WIld*

*you are talking with yourself, WIld*

A Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang