21 Ujian Tuhan

192 13 0
                                        

"Aduh Tereeee.... makasi ya mau nganterin gueee..." Kissa mengucapkan rasa terima kasih yang bertubi-tubi.

"Udah ngomong makasihnya nanti aja. Kita langsung jalan aja. Aduh Kissa, lo yang telat ujian kok gue yang ikut deg – degan sih." Tere memacu motornya dengan cepat. Pagi ini Kissa akan mengikuti ujian penerimaan mahasiswa baru di Universitas Apel. Kissa bangun kesiangan. Bundanya sedang mendampingi ayah yang sedang dinas di Medan sehingga tidak ada yang membangunkan Kissa. "Kiss, terobos jalur busway nih?" tanya Tere.

"Terserah lo deh Ter, yang penting jam sembilan sampeee...." motor matic itu segera mengikuti motor – motor lainnya yang menerobos jalur busway. Sialnya, baru beberapa kilo menerobos jalur busway, sudah ada polisi yang sedang razia. "Oh shit!"

"STNK mana? SIM mana? Kenapa lewat jalur busway?" tanya Tengku Fahri, nama yang tertempel di seragamnya. Tere mengeluarkan semua yang diminta polisi muda itu. "Kenapa lewat jalur busway?" tanya polisi lalu lintas itu lagi.

Kissa menjawab dengan cepat, "Saya sakit perut Pak! Udah kebelet banget iniii... harus buru – buru nyampe biar ketemu toilet..." Kissa berbohong sambil meremas – remas perutnya yang tidak sakit.

Polisi yang berdasarkan tebakan Kissa memiliki darah Arab itu memandanginya, "Gini yaa, disana itu ada pom bensin. Bisa kan mampir disana dulu? Kenapa harus buru – buru kalo di pom bensin juga ada?"

"Aduuuh, toilet di pom bensin ga higienis Paaaak..." Kissa semakin panik saat melihat jam tangannya, sudah kurang tiga puluh menit lagi ujian dimulai, sementara ia masih setengah perjalanan. "Aduh, yaudah deh... damai aja Pak damai..." ujar Kissa mengeluarkan dompetnya. Tere dari tadi hanya diam ketakutan.

"Kamu pikir saya oknum yang tidak bertanggung jawab heh?"

Keringat mulai membanjiri keningnya, dengan gusar Kissa melepas helemnya. "Yaudah maaaf. Saya ngaku deh. Saya jam sembilan ada ujian Pak. Saya buru – buru banget Paaak... plis Pak lolosin kami sekali iniii ajaaaa... abis ini bener deh temen saya ga akan pernah ngelanggar peraturan lalu lintas lagi. Percaya deh percaya... Pak udah jam segini Pak... haduuuh bebasin ya Pak yayaya..." mata Kissa mulai berkaca – kaca. Ia bingung. Ujian hari ini adalah gelombang terakhir yang di buka Universitas Apel.

Fahri memperhatikan wajah kedua perempuan di hadapannya yang pucat. Terlebih lagi dengan wajah Kissa yang hampir menangis. "Baiklah. Hanya sekali ini saja! Awas kalau sampai saya liat kalian ngelanggar peraturan lagi, langsung tiga surat tilang yang saya kasih!"

"Iya Pak iya Pak... janji janjiii... makasih ya Pak... makasih makasih makasih..." sahut Kissa terburu – buru sambil menaiki motor Tere lagi.

***

"Kalian pada tau ga sih? Gue sama Kissa tadi pagi hampir aja kena tilang!"

"Ah udah ah Ter, jangan dibahas lagi. Gue cape ngedengernya..." kata Kissa lesu. Siang itu Tere, Tiwi dan Nakula sedang berkumpul di sebuah restoran.

"Yaudah, jangan dengerin. Gue penasaran soalnya... gimana Ter? Gimana ceritanya lo hampir ketilang?" tanya Tiwi antusias. Tere pun menceritakan kronolginya dengan jelas, "Jadi lo udah fix nih kuliah di Universitas Apel?" tanyanya setelah Tere selesai bercerita.

"Iya, udah... habisan gue ga boleh kuliah di luar kota sih sama nyokap..."

"Terus lo ngekos gitu? Lo kan ga bisa nyetir. Kalo pulang pergi naik angkot kayanya bakal cape deh..."

"Iya, gue ngekos Tiw. Farmasi kayanya ga bisa deh kalo harus diimbangin pulang pergi. Perjalanan dari kampus sampe rumah aja paling cepet dua jam kalo ga macet. Waktu gue nanti banyak habis di jalan yang ada. Belom tugas – tugasnya nanti..."

"Haaah... kita jadi mencar – mencar gini yaa..." sahut Tere sedih, "Gue di Bandung, Tiwi di Jogja, Nakula di Purwokerto, Naron malah sampe nyebrang pulau. Di Medan sana..."

Kissa dengan cepat menoleh ke arah Tere, "Naron di Medan?" tanyanya tak percaya.

"Lo udah ga pernah ngubungin Naron lagi ya Kiss?" tanya Nakula heran, "Tadi juga gue ngajakin Naron kesini, dia ga mau pas tau ada lo... kalian lagi berantem?"

Kissa menghela nafas, "Enggak kok. Kita gak berantem. Kita cuma lagi butuh jaga jarak aja. Jaga jarak untuk mengkontrol perasaan kita sendiri. Kita udah sepakat buat ga kalah dalam ujian Tuhan ini..."

Tiwi merangkul pundak sahabat kentalnya itu. Ia teringat kondisi Kissa beberapa bulan yang lalu. Saat makan malam terakhirnya dengan Naron, ketika Kissa membutuhkan pegangan yang kokoh untuk meyakini dirinya bahwa pilihannya sudah tepat. Selama beberapa bulan itu Kissa mendekatkan diri kepada Tuhan, jarang sekali lepas dari kitabnya. Meminta kekuatan kepada Tuhan. Meminta ketenangan batin.

***

Berulang kali Kissa mondar mandir di dalam kamarnya. Berulang kali pula Kissa mengambil dan menaruh kembali ponselnya di meja. Ia bimbang. Ia pertimbangkan sematang – matangnya, dan dengan tekad yang bulat akhirnya Kissa mengambil ponselnya untuk yang kesepuluh kalinya. Kissa mencari nama seseorang, ia mendekatkan telinganya setelah tombol hijau disentuh.

"Halo Kiss?" jantung Kissa berdetak cepat. Sudah lama ia tidak mendengar suara itu.

"Halo Ron, apa kabar?"

"Baik... lo sendiri apa kabar?"

"Baik juga. Ron katanya lo dapet universitas di Medan ya?"

"Iya Kiss, gue dapet di Universitas Anggur fakultas teknik.

"Oooh... selamet yaa..."

"Makasih Kiss, lo sendiri gimana tadi? Bisa ujiannya?"

"Bisa kok. Lo tau dari mana gue hari ini ujian?"

"Tadi Nakula ceritaa..."

"Ooooh...."

Diam beberapa saat, "Udah lama gue ga denger suara lo Kiss," Naron terkekeh.

Kissa tersenyum sedih, "Lo kapan berangkat ke Medan?"

Naron berdeham salah tingkah, "Besok... besok gue berangkat Kiss..." ujarnya hati – hati.

"Besok? Kok cepet banget?"

"Gue mesti ngurusin pendaftaran Kiss..."

"Lo ngekos di sana?"

"Sama nenek kakek gue Kiss..."

"Oh..."

Diam cukup lama, mereka enggan menutup telepon. Namun mereka juga enggan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan. "Kiss, jaga diri baik – baik ya. Lo ngekos kan nanti? Jangan lupa makan, jangan manja, dan jangan lupa solat ya Kiss..."

"Lo kaya mau kemana aja sih Ron. Pesennya banyak banget..."

"Gue kan belom tentu pulang ke Jakarta tiap liburan Kiss."

Hati Kissa semakin berat mendengarnya, "Gue besok boleh ikut nganterin lo ke bandara?" tanyanya tidak tahan.

Naron menghela nafas berat, "Jangan. Jangan mempersulit kita buat menang diujian Tuhan ini Kiss. Buat gue pasti bakalan semakin berat kalo kita ketemu untuk saat ini."

Setetes air mata Kissa turun. Ia berdeham menetralkan suaranya, "Yaudah, lo juga hati – hati yaa... jangan lupa ibadah juga..." diam cukup lama, tidak ada yang bersuara. Kissa tertawa sumbang, "Hahaha... yaudah ya Ron, semoga sukses..."

"Lo jugaa..." sambungan telepon pun terputus.

Kissa terduduk di atas karpetnya. Ia tidak tahan, dengan tangannya ia membekap mulutnya sendiri. Menangis meraung-raung. Setelah satu jam ia menangis, tinggal isak kecil yang keluar dari mulutnya. Dengan mata sembab Kissa menyalakan televisinya. Ia kembali memutar sebuah video. Video ketika ia bernyanyi bersama, saling menatap. Kissa menatap televisinya dengan tatapan kosong.

***


DI BALIK TIRAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang