4.

58 0 0
                                    

Aku baru saja selesai makan burger, baru saja aku hendak pergi, namun handphone-ku berdering.

Aku meraih handphone-ku yang sedaritadi aku taruh di atas meja, "unknow" tertera di layar handphone-ku, aku menerima telepon tersebut.

"Halo?" aku memulai pembicaraan.

"Halo" sahut suara dari seberang. Laki-laki. Siapa ya? Entah aku malah terfikir Daniel, padahal itu tidak mungkin.

"Siapa ya?" tanyaku.

"Ini gue Zaki."

Zaki. Benar kan! Mana mungkin Daniel. Impossible!

"Lo tau nomor gue darimana?"

"Gue kan ketua kelas, kan dulu gue pernah minta data siswa kelas, dan ada nomor handphone, jadi jelas gue punya nomor semua siswa kelas kita." jelasnya, benar juga ya, dasar Olin stupid.

"Iya juga ya, kok gue nggak kefikiran kesitu ya." kataku sambil tertawa kecil.

"Lo mikirin gue mulu kali." katanya sambil tertawa, boro-boro mikirin Zaki, yang ada tuh kak Daniel di fikiranku.

Aku hanya membalasnya dengan tertawa kecil, "Oiyah, ada apa nelpon?"

"Lo udah ngisi PR fisika?" tanyanya.

"Udah." jawabku secukupnya

"Ada yang nggak gue ngerti nih, lo mau nggak ngajarin gue?" pintanya dengan memelas, dari nada suaranya.

"Boleh."

"Ok, dimana?"

"Gue lagi di kantin, lo kesini aja."

"Ok, wait a minute."

Emang nyampe ya dari asrama cowok ke kantin satu menit? Hh, dasar Zaki.

Aku mengiyakannya saja lalu memutuskan sambungan telepon.

Daripada bosan menunggu, lebih baik aku memesan hot choccolate saja.

Setalah sekitar, ummm, tujuh menit, Zaki datang dan langsung duduk di hadapanku, ia menaruh bukunya diatas meja dan pulpen ditangannya.

"Sorry lama, macet tadi." katanya, lawak emang nih anak.

"Stupid." kataku sambil tertawa. Zaki pun ikut tertawa.

"Lo ngapain disini sendirian?"

Aku berdehem, "Mandi! Ya makan lah."

Zaki tertawa, "Kok nggak ngajak Petty?"

"Dia lagi ngerjain PR ini."

"Duh kasiannya jones." ledeknya.

Aku mendengus sebal, "Jadi, yang mana yang nggak lo ngerti?" tanyaku langsung ke inti, jujur saja aku sudah rindu bantal.

Zaki membuka bukunya, "Nih yang nomor empat."

Aku mengambil alih bukunya dan memahami soalnya, "Oh, ini, ini rumusnya sama kayak yang nomor dua, cuma ini lo rubah dulu, kayak yang Pak Jordan bilang."

"Oh gitu, iya-iya ngerti, coba ya gue kerjain."

Aku mengangguk.

Setelah sekitar lima belas menit, akhirnya Zaki selesai mengerjakan tugasnya.

"Udah kan, Ki? Gue balik ke asrama ya?" kataku

Zaki menutup bukunya, "Nggak gue antar ke asramanya?"

Aku berdecak, "Apaan sih, Ki. Alay deh."

Zaki tertawa.

"Yaudah gue duluan ya?" pamitku

Zaki mengangguk.

Aku hendak beranjak pergi namun Zaki menahan lenganku, yashh kenapa jadi awkward gini? Zzz.

"Kenapa, Ki?" tanyaku

"Gue cuma mau bilang makasih." katanya

Aku tersenyum, "Santai aja kali, Ki."

Zaki tersenyum. "Yaudah sana balik, udah malam nih."

Aku tersenyum tipis sambil menatap tangannya yang menggenggam lenganku, memberi kode agar dia melepaskannya.

"Apa?" kata Zaki, uh, nggak peka banget nih orang.

"Gue mau balik, Ki." kataku

Zaki mengerutkan dahinya, "Yaudah, kan daritadi gue udah nyuruh lo balik."

Aku memutar bola mataku sambil berdecak, "Gimana gue mau balik, Ki. Tangan gue aja lo pegangin."

Zaki langsung melepaskan tangannya setelah menyadarinya, "Sorry" katanya sambil menyeringai.

"Ok, no problem. Gue balik ya."

Zaki tersenyum, akupun segera beranjak dari kantin sebelum Zaki menahanku lagi, etdah, kepedean banget. Siapa juga yang mau nahan ya? Ah sudahlah, jones emang suka begitu.

°°°

Aku menekan knop pintu, dan masuk ke dalam kamar. Terlihat Petty yang sudah tertidur lelap dengan buku-bukunya yang belum dibereskan.

Aku hanya bisa bergidik.

"Lazy girl!" gumamku.

Aku langsung berganti pakaian, mencuci kaki, lalu menggosok gigi. Bersiap untuk tidur.

Aku berbaring diatas ranjangku, aku dan Petty berbeda ranjang, sehingga aku dapat tidur leluasa, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku harus seranjang dengan Petty, secara, dia tidak bisa diam saat tidur, ya apalagi saat bangun. Anak pecicilan.

Aku menatap langit-langit kamar, beruntung aku mendapat teman sekamar seperti Petty, yang sama-sama tidak suka tidur dalam gelap sepertiku. Jadi, jika tidur, lampu kamarku dan Petty selalu menyala.

Otakku memaksaku untuk memutar kejadian beberapa jam yang lalu, ketika aku mendengar percakapan Daniel dan Vania. Tiba-tiba saja hatiku terasa sesak, lagi, seperti saat aku melihat Daniel memeluk Vania dengan penuh cinta. Aku menjadi iri dengan Vania, beruntung sekali dia, mempunyai pacar yang sangat menyayanginya dengan tulus, dan tetap setia walau telah diselingkuhi. Jarang sekali aku menemukan pria semacam itu, padahal, jika Daniel mau, dia dapat memilih wanita manapun yang dia mau, tapi karena dia tulus, dia tetap bersama dengan Vania yang sudah menyakitinya. Andai aku menjadi Vania, aku tidak akan pernah menyakiti pria sebaik Daniel.

Arght, aku ini berfikir apa? Pokoknya aku tidak boleh mengharapkan pacar orang lain, hanya sebatas mengagumi, tidak boleh mengharap lebih. Remember it, Olan!

Berlama-lama membayangkan Daniel dan Vania, membuatku menjadi sleepy. Aku tidak tahu, mimpi apa yang datang ke tidurku malam ini, semoga saja bukan mimpi buruk, semoga saja mimpi baik, yang paling aku takutkan adalah memimpikan Daniel dan Vania. Oh my god, itu menyeramkan, sungguh!

Aku mulai memejamkan mataku untuk tidur.

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang