Aku berjalan keluar gedung sekolah bersama Petty yang ternyata ikut beranjak dari kantin, tapi, sama Kak Daniel juga. Jadi sekarang kami jalan bertiga.
Ketika aku ingin belok ke kanan untuk ke asrama putri, dan kak Daniel belok kekiri untuk ke asrama putra, Petty menyetop kami. "Eh, tunggu deh."
Aku dan Kak Daniel sama-sama menatap Petty heran.
"Kenapa sih, Pett?" tanyaku
"Iya kenapa, Pett?" tanya Kak Daniel juga.
Petty menyipitkan matanya kearah asrama putri, "Itu bukannya Kak Vania ya?" kata Petty sambil menunjuk orang yang ada di depan asrama putri.
Aku dan Kak Daniel jelas langsung menyipitkan mata juga. Jelas kami ingin tahu siapa yang ada disana.
Benar, itu Kak Vania. Tapi kenapa dibelakangnya Pak Jojo--supir sekolah--ada disitu dan bawa-bawa koper merah muda? Dan disana ada guru BK juga ada kepala yayasan. Kenapa ya?
"Oh iya benar, itu Kak Vania." sahutku.
"Kenapa ya dia?" tanya Petty.
Aku mengangkat bahu.
"Hm, menurut gue sih dia dikeluarin dari sekolah." ujar Kak Daniel santai
Aku dan Petty sama-sama terbelalak.
"Dikeluarin?" heran Petty.
"Kenapa?" heran aku juga.
Daniel berdecak malas, "Kok kalian masih nanya aja sih alasannya, ya pasti karena kejadian tadi siang, gue udah laporin ini ke guru BK."
"Lo ngelaporin Vania, Kak?" tanyaku.
Daniel mengangguk.
"Tapi kenapa langsung dikeluarin, harusnya kan tanya dulu ke gue benar apa nggak yang lo laporin, kok bisa langsung dikeluarin sih?" aku semakin heran saja.
"Iya lah jelas, kan gue pake bukti."
"Bukti apa?" tanya Petty.
Daniel mengeluarkan handphone-nya dan menunjukkan sebuah gambar dimana aku yang sedang terikat dan Kak Vania menjambak kasar rambutku. Miris sendiri aku melihatnya.
"Kok lo bisa kefikiran buat foto sih?" tanyaku.
"Ya jelas lah, gue kan selain ganteng pinter juga." katanya kepedean, tapi ya emang bener.
"Uek!"
"Tapi bagus deh, kalau dia keluar kan hidup lo bisa lebih tenang Lan." kata Petty.
"Tapi, kasihan tau, gue harus ngomong sama Pak Yusuf!" kataku lalu berjalan menuju asrama putri.
Petty dan Daniel mencoba mencegahku, namun aku keukeuh pergi, akhirnya mereka mengejarku dari belakang.
Deg! Rasa takut muncul lagi ketika aku melihat Kak Vania. Namun, aku mencoba untul melupakannya.
"Pak, Kak Vania mau dibawa kemana?" tanyaku pada guru BK.
"Dia akan diantar pulang, dia sudah dikeluarkan dari sekolah ini, karena dia sudah berbuat yang diluar batas kepada kamu." jelas Pak Yusuf.
Aku berdehem, gugup. Aku takut sekali salah lagi dimata Vania. "Mm, Pak, tolong jangan keluarkan Kak Vania, saya, mm, saya nggak mempermasalahkan masalah ini kok Pak, saya sudah melupakannya. Saya juga sudah memaafkan Kak Vania."
"Bagaimana ya," Pak Yusuf berfikir, "Ini diluar tanggung jawab saya, ini semua keputusan pemilik yayasan."
Aku langsung menghadap pemilik yayasan yang berada disamping Pak Yusuf.
"Pak, saya mohon jangan keluarkan Kak Vania." pintaku.
"Maaf, Olan, ini sudah keputusan saya, tindakan Vania sudah tidak bisa di tolerir lagi." jelas Pemilik Yayasan.
"Tapi Pak, saya sudah memaafkan Kak Vania." aku melirik Kak Vania sebentar dengan takut-takut. "Saya yakin Kak Vania cuma emosi aja waktu siang, mungkin Kak Vania lagi nggak bisa ngendaliin emosinya." lanjutku.
"Kamu bilang hanya emosi? Kalau emosi seketika tidak seberencana itu. Kejadian tadi siang itu sudah direncanakan sedemikian rupa, sampai kamu diikat dan tidak bisa berbuat apa-apa. jadi itu bukan emosi sesaat. Lagi pula, seharusnya sekarang kamu senang, karena sudah tidak bisa ada lagi yang mengganggu kamu." jelas Pemilik Yayasan.
Entah kenapa aku sangat tidak mau Kak Vania keluar, aku sebagai adik kelas merasa sangat bersalah, andai saja aku tidak disini, pasti semuanya tidak akan begini.
"Tapi Pak, tolong beri Kak Vania kesempatan." aku memohon.
"Saya bingung dengan kamu, kamu yang menjadi korban tapi kamu yang memohon. Hm, tapi maaf, saya tidak bisa mengabulkannya, saya sudah putuskan, Vania harus keluar dari sekolah ini, saya hanya tidak mau Vania berbuat yang lebih parah dari ini." tegas Pemilik Yayasan
"Tapi Pak..."
"Saya tidak terima alasan apapun Olan!" potong Pemilik Yayasan.
Aku terdiam, tidak bisa apa-apa lagi. Aku melihat Kak Vania dengan takut-takut. Vania mendekatiku, duh, aku benar-benar takut, aku memejamkan mataku erat. Tiba-tiba, aku merasakan seseorang memelukku erat. Aku mulai membuka mata. Saat ini aku sedang dalam pelukan Vania?
"Olan, maafin gue, gue sadar gue keterlaluan banget sama lo, gue sadar Daniel pergi karena perbuatan gue, bukan karena kedatangan lo, gue sadar, sekarang Daniel lebih cocok sama lo, lo lebih baik dari gue. Gue nyesel banget udah bertindak jahat sama lo, maafin gue, ya, kalaupun lo nggak bisa maafin gue, gue paham, mungkin kalau gue yang di lo dan lo jadi gue, mungkin gue nggak akan pernah maafin lo." katanya diselingi isakan, Vania menangis?
Aku melepaskan pelukan Vania lembut, aku menggenggam kedua tangannya sambil tersenyum kepadanya. "Gue udah maafin lo kok, Kak. Tapi lo gapapa keluar? Maaf gue nggak bisa bantu lo."
"Iya, lo nggak perlu minta maaf, gue gapapa, masih untung gue cuma dikeluarin nggak dilaporin polisi." kata Vania sambil tersenyum.
Syukurlah, ternyata ada hikmah dibalik semua kejadian ini. Thanks God.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT
RandomLangsung baca aja biar penasaran;) dont forget to add to your library, and leave me vote and vomment!