19.

61 0 0
                                    

Aku dan Petty baru saja sampai dikelas. Huh untunglah aku bisa terbebas dari Vania yang kayak nenek lampir itu.

"Lan, lo berani juga ya ternyata." Kata Petty dengan bangganya, padahal aku yang seharusnya bangga.

"Lo tahu nggak, gue tuh hampir aja pinsan ketakutan. Tapi acting gue bagus ya? Nggak keliatan kalau gue lagi takut." jelasku.

"Serius lo?"

Aku mengangguk, sontak Petty langsung tertawa ngakak.

"Emang lucu ya, Pett?" tanyaku dengan polos.

"Lucu banget, hahaha" Petty tidak bisa berhenti menahan tawanya.

"Jadi, menurut lo, gue lebih cocok jadi pemain film, atau pelawak?" tanyaku dengan polos.

Sontak Petty langsung terdiam malas. "Bodo amat!"

Aku hanya mingkem saja. "Zaki nggak masuk lagi?" tanyaku setelah menyadari kursi Zaki kosong.

"Katanya sih dia sakit."

"Sakit?" aku langsung terbelalak.

"Iya, gue denger-denger aja. Kayaknya dia sakit karena lo tolak deh." kata Petty

Apa yang dikatakan Petty benar? Zaki sakit karena aku tolak? Kalau begini aku semakin merasa bersalah padanya.

"Masa sih, Pett? Ah lo jangan bikin gue tambah ngerasa bersalah dong."

Petty hanya mengangkat bahu.

"Sakit apa? Parah nggak?"

Petty berdehem, "Katanya sih di rawat di klinik sekolah."

Ya, sekolahku memang menyediakan klinik dan dokter khusus. Memang fasilitas disini sangat memadai.

"Kalau gitu, pulang sekolah gue mau jenguk dia, lo mau temenin gue nggak?"

Petty berfikir, "Bukannya gue nggak mau, tapi gue ada janji sama Doni."

"Oh, yaudah nggak apa-apa. Gue sendiri aja."

°°°

Seperti yang telah aku rencanakan. Aku sekarang akan menjenguk Zaki. Aku sudah tidak sabar lagi ingin tahu keadaannya.

Aku membuka pintu ruang rawat, nah, syukurlah, Zaki ada, dia sedang membaca...komik(?) ampun deh, lagi sakit malah baca komik.

Aku mendekat ke ranjang Zaki, aku berdiri disamping ranjangnya.

"Olan?" ujar Zaki saat menyadari kedatanganku.

Aku tersenyum, "Lo baik-baik aja, Ki?"

Zaki tersenyum, "Seperti yang lo liat, gue baik-baik aja."

"Gue...mau minta maaf ya sama lo."

"Buat?"

"Ya, pasti lo sakit karena gue kan? Gue bener-bener ngerasa bersalah banget."

Zaki menggenggam tangan kananku, "Ini bukan salah lo, gue aja yang lebay."

"Lo lagian kemana sih, gue telepon nggak diangkat, lo nggak tahu apa gue khawatir sama lo!"

"Tuh, kan, gimana gue nggak baper, lo aja care gini sama gue."

Aku langsung terdiam.

Zaki tertawa, "Bercanda, nggak usah tegang kali."

"Ih, lo nyebelin." aku manyun. "Lagian emang salah kalau gue peduli sama lo? Gue kan sahabat lo, Ki."

Zaki berdehem, "Cuma sahabat nih?" tanya Zaki

Aku memukul pelan bahu Zaki, "Nyebelin."

"Aw, sakit tahu.."

"Lebaaaaay."

Zaki tertawa, syukurlah, tidak ada rasa canggung diantara kami berdua.

"Olan, gue boleh tanya nggak?"

"Boleh lah, tanya aja."

"Tapi lo harus jawab jujur!"

"Harus?"

"Iya."

"Ok."

"Bener lo suka sama Daniel?"

"Hah?"

"Iya atau enggak?"

Aku berdehem, lah, kenapa jadi kesini nanya-nya. Kalau ini sih aku bingung jawabnya.

"Olan...jawab..."

"Lo nanya apaan sih, Ki! Kayak nggak ada pertanyaan lain aja."

"Jawab aja Lan, inget! Jujur!"

Aku menatap Zaki dengan tatapan are-you-crazy-?

"Yaelah, sama sahabat sendiri aja nggak mau jujur, katanya lo anggap gue sahabat, peres ah lo!"

Aku berdecak sebal, "Iya gue suka sama Daniel."

"Asik, pantesan aja gue di tolak."

"Ih, Zaki, apaan sih!"

"Becanda."

"Kenapa lo bisa suka sama dia?"

Aku mengerutkan dahi, "Harus banget yak gue jelasin?"

"Ya kalau lo anggap gue sahabat sih harus."

Aku menarik hidung mancung Zaki geram, "Ngancem aja lo, ok gue cerita."

"Yaudah cerita, lama!"

"Sabar dong, ih, baru kali ini ada orang sakit tapi ngeselin."

"Jadi gue tuh ketemu dia nggak sengaja, gue hampir aja ketabrak dia, tapi nggak tahu kenapa, gue langsung suka sama dia waktu itu, sampai akhirnya gue tahu kalau dia udah punya pacar, disitu gue setress banget, gue udah terlanjur suka sama Daniel. Yaudah, gitu deh pokoknya."

"Hiks, sedih banget.."Zaki dramatis.

"Ih, nyebelin."

"Nanti gue bantuin deh lo sama Daniel, gue kan satu ekskul sama Daniel."

"Lo anak basket juga?" tanyaku

Zaki mengangguk. "Tenang, gue akan jadi mak comblang yang baik."

"Ih, apaan sih, Ki! Mendingan lo fikirin aja nih kesehatan lo, yang paling penting itu lo sembuh dulu, udah itu aja, lo gausah mikir yang nggak penting deh, kelas sepi tahu nggak ada lo."

Zaki manyun.

"Lo udah makan belum?" tanyaku

Zaki menggeleng.

"Ih, oon banget sih, gimana mau sembuh kalau begini! Udah deh, lo mendingan sekarang makan."

Zaki menggeleng.

"Kok nggak mau sih?"

"Percuma, nggak mempan."

"Apanya yang nggak mempan? Udah deh lo jangan banyak omong, mendingan makan! Apa perlu gue suapin?"

Zaki ngangguk sambil senyum-senyum.

"Dasar manja, ok, buat sahabat gue nih." aku mengambil makanan dimeja dan menyuapinya pada Zaki.

Seteleh habis satu mangkuk bubur seseorang masuk kedalam ruangan.

"Lo ngapain disini? Belum puas lo bikin kakak gue kayak gini?" ujar Rossa menyolot.

"Rossa, lo apaan sih!" kata Zaki.

"Mendingan lo pergi sekarang, gue nggak mau lihat lo deket sama kakak gue, lo tuh cuma bikin kakak gue sakit doang tau nggak! Pergi!"

"Iya ok gue pergi." aku menaruh mangkuk bubur, "Zaki, gue balik dulu ya, cepet sembuh." kataku sambil tersenyum.

"Cepet pergi!!!" usir Rossa.

"Iya, sabar dong!"

Akhirnya aku pergi dari sana.

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang