22.

53 0 0
                                    

Aku memasuki kelas dengan langkah gontai, lemas, lesu.

Aku duduk dikursi.

"Napa lo?" tanya Petty.

"Apanya? Emang ada yang luka atau berdarah gitu?"

Petty mendengus sebal sambil menjitak kepalaku (lagi?), tentu saja aku mengaduh kesakitan. "Maksud gue tuh muka lo, kenapa kusut?"

"Oh." aku mengangguk-angguk. Lalu diam.

"Gue nanya kali, Olan. Jawab kali."

"Oh, lo tadi nanya?" aku cekikikan.

"Bodo!"

Aku tertawa terbahak-bahak, haha, nggak tahu kenapa, aku suka melihat Petty ngambek, habisnya kalau dia ngambek pipi chaby nya jadi warna merah gitu, kan gemez.

Aku menyudahi tawaku, "Ok-ok, lo nanya apa?" tanyaku.

Petty menatapku malas. "Gue tadi nanya nama lo siapa!"

"Oh, nama gue, nama gue Yolanda Shakira, biasa dipanggil Olan, tapi kebanyakan pada manggilnya Olan imut sih, eh, tapi, bukannya lo udah tau ya, Pett? Kok lo nanya lagi, apa jangan-jangan lo insomnia? Eh, bukan, maksud gue amnesia? Tadi lo kejedot apa? Atau nabrak tembok? Atau ketimpah apa gitu?"

Petty berdecak sebal, "Stupid! Gue tuh tadi nanya, kenapa muka lo kusut banget?"

Aku mendengus, "Lo mah labil, tadi nanya nama gue, sekarang nanya muka gue, dih, mau lo apa sih, Pett."

"Olan...kalau bukan sahabat gue, udah gue sate lo dari kemarin-kemarin." Kata Petty geram.

"Sate apa? Satenya tuh disini?" kataku masih saja bercanda, padahal Petty sudah terlihat kesal sekali, sepuluh kali malah, eh apasih, aku emang kadang nggak jelas, ok, lupain lupain.

"Udah ah, lo jawab aja, muka lo kenapa kusut?"

"Muka gue kusut karena..." Aku menaikan bola mataku ke atas sambil berdehem, sedangkan Petty menunggu ucapanku selanjutnya dengan tatapan yang serius. "Belum di setrika." kata gue sambil nyengir kuda.

Petty termanyun sungging, anti mainstream kan, biasanya orang-orang tersenyum sungging, kalau ini termanyun sungging.

"Lan...lo kapan seriusnya sih?" tanya Petty penuh kegeraman.

"Pada saatnya, nak!" jawab aku dengan sok bijak. Petty hanya manyun saja, dia pasti lelah menghadapi sahabat yang tingkahnya menyebalkan sepertiku ini, eh, kok aku ngaku sendiri ya, ah, biarkan. "Iyadeh gue ceritain nih."

Petty muka ngarep banget, wkwk, pengen aku jailin lagi sih sebenarnya, tapi, aku kasihan ah. Ck, tumben nih aku punya rasa kasihan sama si Petty, beruntung dia hari ini.

"Jadi, tadi kan gue sama Kak Daniel lagi sarapan di kantin, eh tiba-tiba Kak Vania datang terus marah-marah gitu sama gue." jelasku.

Petty mengerutkan dahi, "Kok marah-marah? Bukannya dia udah putus sama Kak Daniel?"

Aku menaikan bahu, "Namanya pacaran udah lama, pasti lah susah buat ngelepasnya."

"Ya, salah sendiri dong dia selingkuh." kata Petty, aku diam saja. "Terus gimana?" tanyanya lagi.

Aku berdehem, "Ya, nggak gimana-gimana, gue sih diem aja, Kak Daniel yang ngomong sama Kak Vania. Terus mereka jadi debat di depan gue gitu, nggak enak banget gue, untungnya Kak Daniel narik gue buat pergi dari situ, selesai deh. Tamat." kataku dengan nada kayak orang yang sedang dongeng.

"Lo fikir dongeng apa."

Aku nyengir kuda. "Lo sih malah ngebiarin gue sarapan bareng sama Kak Daniel!"

"Ih, nggak apa lah, kan biar lo sama dia makin deket, dalam memperjuangkan cinta itu emang banyak tantangannya kali Olan." kata Petty.

"Gue nggak mau jadi pejuang cinta, gimana dong?"

"Lo mah kalau di bilangin susah deh, lagian ya, menurut gue Kak Daniel udah mulai suka deh sama lo." ujar Vania.

Aku tertawa, "Lo mah kalau ngomong suka ngawur!"

"Siapa yang ngawur? Gue serius kali. Buktinya aja dia lebih ngebelain elo tadi kan?"

Aku mengerutkan dahi, "Belain apanya? Nggak,"

"Itu, dia yang ngomelin Kak Vania kan, berarti dia lebih belain lo lah dipanding Kak Vania."

Aku berdecak malas, "Lo mah sotoy, ya itu kan emang permasalahan mereka, ngapain juga bawa-bawa gue, ya emang harusnya debat itu Kak Vania sama Kak Daniel, bukan gue. Jadi, itu namanya bukan ngebela, okay, lo nggak usah bikin gue ngarep, gue nggak mau ngarep sedikit pun." jelasku.

"Olan...Tapi kan ya..."

Aku langsung menutup kuping sebelum Petty menyelesaikan ucapannya, "Bodo amat, gue nggak perduli, terserah lo mau ngomong apa!"

Tiba-tiba seseorang datang ke kelas, Zaki? Ya itu Zaki.

"Zaki?" kataku girang.

Zaki tersenyum lalu ia menghampiri aku dan Petty.

"Morning." sapa Zaki.

"Lo udah sembuh, Ki?" tanyaku dengan bahagia.

Zaki mengangguk, "Iya lah, buktinya gue udah masuk sekolah."

"Nah, gitu dong, begini kan asik, kelas jadi rame, kelas tanpa ketua kelas itu, bagaikan pohon tanpa akarnya, mati." kataku dengan seperti nada orang bersyair.

"Lebay lo!" komen Petty dan Zaki.

Aku langsung manyun saja.

"Tapi, Ki..." aku memerhatikan setiap lekukan di wajah Zaki.

"Kenapa?" tanya Zaki sambil mengerutkan dahinya.

"Lo yakin udah sembuh?"

Zaki mengangguk mantap. "Kenapa sih, lo nggak seneng gue sembuh?"

"Bukan gitu..." aku menatap iba Zaki. "Tapi, lo masih pucet banget. Ya kan Pett?"

Petty mengangguk. "Iya, pucet banget lo, Ki."

Zaki terdiam, namun akhirnya ia berbicara. "Ah, apa sih kalian, nggak usah natap gue kayak gitu deh. Kayak apaan aja."

Aku dan Petty hanya tersenyum tipis. Lalu, Zaki duduk di bangkunya. Aku tidak yakin Zaki sudah sembuh, wajahnya pucat sekali.

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang