Chapter 2 - Saudara

57 6 0
                                    

Pagi hari menyambut Aria yang hatinya kelabu. Ia tidak keluar kamar sama sekali kemarin, dan memang tidak ada lagi yang mengganggunya. Hanya Samuel dengan secangkir darahnya yang membuat Aria meluapkan emosinya. Sekarang, begitu pikirannya lebih segar, Aria menyadari sikapnya yang tidak sopan karena menolak niat Samuel yang (mungkin) baik hati, Iapun malu dan berharap tidak akan menemukan Samuel di pagi hari. Hal itu sangat mungkin karena pagi dan siang hari adalah waktu miliknya. Ia bisa berjalan-jalan tanpa khawatir ada anggota keluarga yang lain menegurnya, atau sekedar menawarkan secangkir 'nutrisi'.

"Selamat pagi, Nak," sapa Yin yang sudah siap dengan sarapan Aria yaitu roti dan telur.

"Selamat pagi," balas Aria sambil duduk di kursinya.

"Kau tahu, Nak? Aku bukan berniat mencuri dengar. Tetapi, ada apa denganmu kemarin?"

"Ka-kau mendengarnya, Yin?"

"Hanya sedikit. Aku berusaha menutup indraku, tapi, kau tahu, kan... Apakah Claire menyakitimu?"

"...bukan Claire."

"Oh? Lalu siapa? Kemarin, ketiga anak itu langsung naik ke atas sepulang sekolah. Aku sempat dengar ada suara berisik dari kamarmu, tapi segera berhenti... Reinhart mengganggumu dengan pertanyaan-pertanyaannya? Kau tahu dia itu memang begitu, kan..."

"..." Aria yakin membuka mulut akan memberi akibat buruk pada Samuel.

"Itu aku." Suara dingin Samuel terdengar dari belakang keduanya.

"Benarkah? Kau di kamar Aria?!" Ada nada tidak percaya dari Yin.

"Benar. Dia mengusirku karena-

"Aku harus pergi sekolah sekarang!" Aria lekas berdiri, tidak ingin mendengar Samuel mengatakan apapun, hatinya masih panas.

"Tunggu." Samuel berusaha menghentikan Aria.

"Lepas!" Aria mengelak tangan Samuel lalu berlari keluar rumah.

Aria sudah berlari keluar rumah dengan sekuat tenaga. Samuel tidak mengejarnya, hanya memperhatikan dari jauh. Tinggal ada Yin dan Samuel di ruang makan. Melihat kejadian itu, Yin menatap Samuel dengan heran.

"Apa yang sudah kau lakukan, Nak?"

"...menyakiti hatinya."

"Oh, Samuel. Dia begitu muda dan sudah harus melewati perubahan besar. Apakah kau harus membuatnya tersakiti dan merasa sendirian?"

"Aku...tidak bermaksud."

"Dan kau akan menebusnya?"

"...tentu."

Sekolah berjalan seperti biasa, tetapi Aria tidak bisa fokus. Ia menyalahkan Samuel yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia tidak suka dihadapkan pada pilihan yang belum ingin Ia pilih. Keputusannya untuk tidak mau minum darah adalah keputusan bulatnya sejak Ia menyadari dirinya sebagai mahluk abadi. Hal itu saja masih belum bisa diterima dengan baik olehnya. Sekarang, Samuel memperparahnya dengan mengkonfrontasi Aria pada pilihan itu.

Ia tidak yakin apakah bisa memaafkan Samuel. Jalan terbaik adalah mengacuhkannya, sama seperti Ia mengacuhkan Claire, kembali seperti kondisi awal saat mereka tidak saling menyapa. Aria tidak masalah kalau harus hidup dengan ketidakpedulian mereka, karena memang dia orang asing bagi mereka. Kalau tiba-tiba Samuel begitu peduli dengan caranya yang ekstrem, itu akan menyulitkan Aria.

"Teng! Teng!" Dentang bel sekolah mengakhiri jam pelajaran. Lorong sekolah segera dipenuhi keramaian anak-anak SMP yang ingin segera pulang. Aria berdiri dari kursinya begitu kelas sudah kosong. Kebiasaan ini muncul semenjak Ia bersekolah di sini, dan tidak ingin membuatnya menjadi pusat perhatian. Aria tidak suka menjadi pusat perhatian karena Ia orangnya pemalu.

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang