Chapter 16 - Dahaga

48 7 1
                                    

Yin Everhart memandang tak percaya. Gadis muda yang dahulu muncul pertama kali di hadapannya telah begitu berubah. Ia belum menyadarinya selama ini, satu tahun berlalu dan Ia tidak pernah benar-benar memperhatikan perubahan dari anggota keluarga termuda Everhart ini. Aria Everhart yang dahulu berpenampilan seperti gadis manusia rapuh, kurus, dan pasi kulitnya dengan rambut bergelombang hitam yang dikepang ke belakang sekarang telah menjadi seorang remaja yang berbeda.

Yang paling terlihat adalah rambut ikalnya yang hitam mempesona, panjang mengurai hingga sampai ke mata kaki. Kulit putih pasinya begitu bercahaya di dalam kegelapan, seakan memancarkan sinar bulan. Wajahnya begitu polos dan tenang, tidak terlihat kelaparan atau emosi yang meluap. Bibir merah ranumnya menutup rapat. Mata coklatnya yang bundar berkilauan menatap ke depan, tajam dan penuh makna.

"Aria..." Yin memanggil namanya, kemudian Aria balas menatapnya dengan tenang. Gadis itu mengerutkan alisnya, sedih.

"Maafkan aku, Yin. Sudah membuatmu khawatir." Suara Aria masih terdengar serak, namun merdu di telinga.

"Tidak apa-apa, sayang. Yang penting, kau baik-baik saja," Yin menanggapi.

"Aku sudah tidak apa-apa. Kau bisa lihat, kan?" Tanya Aria pada Samuel yang berdiri diam di hadapannya. Belum ada kata-kata yang terlintas di mulutnya, terpukau dengan penampilan Aria.

"Rambutmu, Aria..." Yin berucap. Ia mendekati Aria dan menyentuh helaian rambut hitam miliknya. "Aku akan membantumu memotongnya," ujar Yin. Aria membalas dengan senyuman yang sangat manis.

"Aku akan membantu," Claire muncul tiba-tiba dari ujung lorong. Kedua alisnya berkerut, tetapi ekspresi di wajahnya jelas menunjukkan kepuasan telah menemukan kembali objeknya untuk merias.

"Yeah, yeah. Itu bisa menunggu." Samuel membuka mulutnya untuk berbicara. Aria segera menengadah menatap saudaranya yang satu ini. "Sekarang kau dan aku punya urusan yang lebih penting," ujar Samuel dengan penekanan. Aria menelengkan kepalanya tidak paham.

"Tidak. Beribu kali pun T-I-D-A-K!" Seruan Aria terdengar sampai keluar rumah, hal yang sudah bisa diduga oleh Samuel. Ia menggeram tanpa mengalihkan pandang.

"Aku tahu kau akan bereaksi seperti ini, tetapi kita tidak punya waktu untuk sesi anak manja. Lihat—

"Jauhkan benda itu dariku, Sam!"

"Aria. Tidakkah kau merasa haus? Di sini?" Samuel memegang lehernya sendiri, membuat Aria tanpa sadar menelan ludah. Ia kehausan, untuk pertama kali dalam hidupnya.

"Aku tidak ingin me-meminumnya...Itu tidak berperikemanusiaan!"

"Kau pikir kami akan menyakiti manusia untuk mendapatkan ini? Thomas mengambil dan menyimpan stok darah ini untukmu! Percayalah, tidak ada nyawa manusia yang dikorbankan untuk mendapatkan ini." Samuel meyakinkan Aria yang fokus menatap telapak kakinya tanpa alasan.

"A-Aku tidak bisa! Rasanya akan mual..." Aria menutup rapat matanya.

"Dengarkan aku dulu, anak kecil! Lihat!" Samuel mengeluarkan perlengkapan yang Ia bawa dalam tas kecil. Sebuah kemasan botol infus kosong dan selang panjang. Aria menatap dengan heran, Ia kelihatan bimbang.

"Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Thomas meyakinkan bahwa dengan cara ini, kau tidak perlu merasa tidak enak." Samuel menjelaskan sambil mengurai selang panjang di tangannya. "Kau bermasalah dengan jarum suntik?"

"Uh. Ehm. Itu..." Aria mengalihkan matanya.

"Oh, tidak. Nona Aria Everhart takut dengan jarum suntik?" Sam menunjukkan senyuman sinis, menikmati respon Aria yang kesal tapi tidak mampu membalas.

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang