Chapter 11 - Kelas Seni

45 8 0
                                    


"Kau mengambil kelas Seni?" Yin bertanya sambil menyodorkan sarapan pada Aria, roti dengan selai nanas dan segelas jus tomat. Gadis itu berterima kasih, lalu mengangguk. Sudah tiga minggu berlalu dari hari kepindahan. Seluruh Keluarga Everhart sudah mulai terbiasa dengan udara dingin dan minim matahari, membuat mereka leluasa berinteraksi keluar rumah. Yin bahkan berani ke supermarket sore kemarin, dengan ditemani Claire tentunya. Thomas juga tidak bermasalah saat diberi shift pagi di rumah sakit tempatnya bekerja.

"Aku tertarik sekali dengan seni lukis. Jadi, aku mau mengambil kelasnya. Bolehkah?" Tanya Aria. Yin tidak bisa menolak, tentu saja. Ia menganggap Aria sebagai anak bungsu miliknya, yang akan Ia manja dan sayangi.

"Tapi, kelas Seni akan bentrok dengan Kelas Bahasa yang diikuti Samuel," desah Yin.

"Ini hanya untuk satu jam pelajaran saja. Boleh kan aku mengambil kelas ini? Aku akan jaga diri," pinta Aria memelas. Yin mendesah, lalu akhirnya mengangguk mengizinkan. Aria bersorak lalu memeluknya hangat.

Samuel sudah tidak peduli lagi. Ia lelah jika harus berdebat sekali lagi dengan saudara angkatnya yang satu ini. Gadis ini benar-benar sangat keras kepaladan dekat dengan bahaya, berbeda dengan Rein ataupun Claire yang sudah paham betul arti dari bahaya. Ia hanya bisa mengutuk dalam hati saat tahu Aria diberi ijin untuk mengambil satu kelas yang berbeda darinya. Satu jam pelajaran cukup sekali untuk terjadi banyak hal mustahil. Apakah Yin sudah melupakan soal Isaac?

Ia merasa Yin dan Thomas terlalu memberinya kebebasan. Gadis kecil itu, walaupun usianya bertambah ternyata tidak cukup membuatnya lebih awas. Tidak tahukah dia betapa besar rahasia yang harus disembunyikan tentang keluarganya? Tentang dirinya? Apa dia lupa kalau dia sendiri menyimpan rahasia paling besar yang bisa menjadi berbahaya jika diketahui pihak yang salah?

Sam mengingat kejadian tiga minggu yang lalu, malam setelah Ia mengikuti Aria mendaki hutan. Ia menangkap gadis itu sebelum Ia terjatuh ke tanah, dan mendapati hal yang berbeda darinya saat mereka bertatapan. Bulu matanya yang tebal dan gelap, mata coklatnya yang gemerlap bagaikan mencair di bawah langit berbintang, menatap dengan polos, dan entah bagaimana memabukkan. Ini bukan mata milik manusia normal, karena bagaimana mungkin mata seorang manusia bisa begitu memabukkan bagi seorang Mahluk Abadi seperti dirinya? Sam yakin saat itu, bahwa Aria sudah mulai menunjukkan kesamaan karakteristik dengan keluarganya, tetapi pada gadis itu, kelihatan sedikit berbeda.

Itulah sebabnya ia menjauhkan diri dari Aria, karena Sam takut tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Gadis itu begitu misterius, tidak ada yang tahu pasti apa yang bisa dilakukannya. Pertama, aromanya yang memabukkan, dan sekarang matanya. Apalagi yang akan datang? Ia tidak langsung menceritakan hal ini pada Thomas, karena Ia tidak yakin semuanya merasakan hal yang sama. Yang pasti, ia harus memastikan Aria mengenakan kacamatanya terus menerus sambil Sam mencoba mencari tahu cara mengontrol dirinya. Sulit sekali baginya untuk terus mengawasi gadis itu, sementara berusaha untuk menjauh dari pengaruhnya yang semakin hari semakin kuat.

0-0-0-0-0

Aria memandang kanvas kosong di hadapannya, mencoba meresapi ketenangan yang akhirnya Ia dapatkan. Tidak ada pengawasan dari Sam di sekitarnya, dan siswa-siswa tampaknya tidak terlalu mempedulikannya. Mereka sepertinya hanya penasaran di minggu-minggu awal, dan ketertarikannya lebih pada ketiga saudara angkatnya yang terlalu indah bagaikan malaikat jatuh.

"Selamat siang, semuanya. Kali ini, kita akan melukis bebas. Lukislah sesuka kalian, tapi aku mengharapkan hasil yang memuaskan minggu depan." Seorang guru memberi instruksi di depan, pria berusia 30-an dengan kemeja putih dan celana jins. Aria tidak terlalu peduli. Seisi kelas langsung ribut mempersiapkan apapun yang ada di pikiran mereka. Ada yang mencari inspirasi di buku sketsanya, ada yang berjalan mondar-mandir, dan ada pula yang mencoba mencari bantuan di dunia maya. Aria tidak melakukan seperti yang lainnya, Ia hanya menatap kosong kanvas di depannya, berusaha menemukan apapun yang bisa Ia lihat. Imajinasinya bermain, lalu tangannya segera mengambil kuas dan cat akrilik di sampingnya. Tangannya bermain-main di atas kanvas, membubuhkan warna biru ke sana kemari. Ia terus fokus pada apapun di pikirannya sampai kemudian bel sekolah menghentikannya.

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang