Chapter 27

18 2 0
                                    

Hari berjalan begitu cepat. Satu minggu sudah berlalu dengan absennya Aria dari sekolah. Yin berusaha membujuknya, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, tetapi Aria tetap pada pendiriannya. Gadis itu mengunci diri di kamarnya, hanya membuka pintu saat tidak ada seorang pun di lorong untuk mengambil makan dan minum.

Keluarga Everhart sudah mengetahui apa yang terjadi di rumah Neil. Aria sudah menceritakan semuanya dengan lengkap, yah tidak terlalu. Gadis itu mengalami hilang ingatan di waktu ia sendirian di toilet hingga kemudian sadar saat Neil memeluknya dari belakang.

Neil...Aria tidak berani menghubunginya lagi setelah kejadian itu. Ia malu dan merasa sangat bersalah sejak hari itu. Ia tidak bisa melupakan betapa terguncangnya temannya itu, dan ekspresi ketakutan yang terpampang di wajahnya. Aria yakin ia sudah berbuat kesalahan yang besar sehingga temannya sampai begitu. Kesalahan besar itu sangat terkait dengan sisi kelam dalam dirinya...monster yang diam-diam menunggu waktu untuk keluar.

Aria tidak tahu bahwa kisruh dan debat panas berlangsung di antara sisa anggota keluarga Everhart. Mereka menutupinya dengan sangat baik. Reinhart yang pertama kali memulai, mengatakan bahwa ini semua ada hubungannya dengan Dimitry Oslow, seorang ilmuwan manusia yang pernah bekerjasama dengannya di masa mudanya. Samuel kemudian emosi karena Rein tidak mengungkapkannya lebih dahulu, dan merasa bersalah karena seharusnya ia mencegah Aria bermain ke rumah Neil Oslow. Yin berusaha melerai dan mengatakan bahwa ini bukan salah siapapun. Thomas yang membuat mereka semua berhenti dengan berkata bahwa yang penting sekarang adalah menjaga rahasia keluarga mereka.

Rein mengatakan bahwa Oslow tidak akan membongkar identitas Aria atau siapapun, karena ia tahu Dimitry tidak akan sebodoh itu. Yang paling mungkin ia lakukan adalah berusaha mengambil Aria sebagai kelinci percobaannya. Mendengar hal ini, Sam kembali panas dan memaksa untuk pindah rumah demi kebaikan mereka semua. Yin meminta Sam untuk menenangkan diri dan kembali bicara dengan kepala dingin.

Kondisi begitu dingin dan renggang di dalam rumah, dan Aria tidak tahu hal itu. Ia sibuk dalam kesedihan dan rasa bersalahnya. Kalau saja ia tidak merasa haus...kalau saja ia bisa mengontrol dirinya dan tidak membahayakan Neil...kalau saja ia tidak main ke rumah Neil...kalau saja Neil tidak pernah menjadi temannya...kalau saja ia tidak pindah ke kota ini...kalau saja...kalau saja ia bukan mahluk abadi...

"Tok! Tok!" Ketukan pintu menyadarkan Aria dari lamunan.

"Aria, ini aku. Bisa kita bicara?" Aria tidak membayangkan bahwa Claire akan datang ke depan pintu kamarnya. Keduanya tidak terlalu banyak berkomunikasi, dan kelihatannya Claire tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Aria.

"Kau mau apa, Claire?" Bisik Aria, tahu jelas bahwa Claire bisa mendengarnya.

"Kau tidak keluar dari kamar seminggu penuh. Kau juga tidak mandi. Aku-aku hanya ingin mengecekmu," ujar Claire. Untuk sesaat, ia terdengar begitu perhatian. Sama sekali tidak seperti Claire yang biasanya.

Aria kemudian membuka pintu perlahan, menemukan Claire yang menatapnya balik dengan wajah terkejut. Claire tidak menyangka bahwa Aria akan membukakan pintu untuknya, ditambah lagi melihat penampilan Aria yang tak terurus. Rambut hitamnya kusut dan berhamburan tak tentu arah. Kulitnya semakin pucat dan wajahnya layu. Pipinya kelihatan lecet sehabis digosok keras, mungkin dari airmata.

"Oke. Biarkan aku masuk," ucap Claire. Ia tidak menunggu respon Aria, melainkan langsung mendorong pintu kamar Aria sehingga Aria terdorong ke belakang. Gadis itu terhuyung dan hampir jatuh ke lantai. Claire menyapu pandang ke kamar Aria. Tidak ada yang berantakan kecuali selimut yang berada di dekat jendela besar. Kasurnya sendiri kelihatan rapi dan bersih, seakan tidak digunakan sekitar seminggu.

"Kau sudah melihatku. Aku baik-baik saja, Claire," Aria melipat tangan di dada, berusaha kelihatan lebih kuat dari sebenarnya. Matanya sendiri menunjukkan kesedihan.

"Pendusta. Kau tidak bisa berbohong dengan lebih baik?" Tantang Claire balik. Ia mengernyitkan matanya melihat ekspresi terkejut Aria. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri dan bersihkan dirimu. Kita akan keluar," ucap Claire.

"Eh...Aku sedang tidak ingin..."

"Mandi, gosok gigi, dan ganti pakaianmu. Kita pergi dalam 15 menit." Claire menatap Aria tajam, kemudian Aria akhirnya mendesah pelan. Ia termenung sebentar. Gadis itu mengangguk, yang membuat Claire tersenyum puas. Ia melangkah keluar kamar dengan ringan.

Aria tidak selesai dalam 15 menit. Ia membutuhkan waktu yang lebih lama dan sempat membuat Claire berjalan kembali ke kamarnya. Claire membantu Aria mengenakan pakaian dan merias wajahnya. Setelah lewat 45 menit, Aria sudah tidak terlalu mirip dengan mayat hidup. Claire menggandengnya keluar kamar dan menuju ke pintu depan.

"Kita akan piknik keluarga," ujar Claire sambil membukakan pintu mobil.

"Piknik?" Aria tertegun. Ia bahkan belum mempersiapkan pakaian. Berapa lama mereka akan pergi? Lebih penting lagi, kenapa mereka pergi piknik? Pertanyaan mengalir di kepala Aria tanpa bisa ia sampaikan. Claire mendorongnya masuk dan segera menutup pintunya.

Di dalam mobil, Claire memegang kemudi. Ia menyalakan radio dan musik mulai melantun. Claire mendendangkan musik, suaranya jernih dan indah. Aria duduk di sebelahnya dalam diam. Ia berusaha memahami situasinya sekarang. "Claire, dimana yang lain?" Tanya Aria.

"Semuanya sudah ada di pondok. Hanya kita berdua yang belum. Tenang saja, hanya 1 jam perjalanan, kok." Claire bersenandung lagi. Kali ini, ia menginjak pedal gas dan mobilpun melaju dalam kecepatan tinggi. Aria sampai menutup matanya karena begitu cepatnya kendaraan itu melaju.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang