Chapter 23 - Pengakuan

33 4 3
                                    

Daniel adalah murid yang baik. Setidaknya itulah pendapat Sam dan Rein setelah 'mengajarkannya' bertahan hidup dengan cara keluarga Everhart. Kegiatan berburu menjadi kegemaran sekaligus pelampiasan semua insting pemburu mereka yang terpendam. Cara terbaik yang dipahami oleh Sam adalah melempar Daniel langsung ke depan sarang beruang yang kelaparan. Praktik langsung adalah guru terbaik, motonya. Tentu saja sebagai guru yang baik, ia berpangku tangan dan menikmati pertunjukan amatir Daniel melawan beruang kelaparan dengan ukuran dua kali lipat lebih besar. Reinhart berada entah dimana, mencari kesenangan sendiri.

Beruang tumbang setelah Daniel berhasil menaklukannya. Mahluk abadi amatir itu segera meminum darahnya, merasakan kesuksesan dari pengalaman pertamanya. Samuel memperhatikan dalam jarak dekat, benar-benar memperhatikan bagaimana Daniel sudah menutup babaknya sebagai manusia, dan memulai babak baru sebagai mahluk abadi. Ia hampir terjebak dalam nostalgia di masa lampau. Untunglah Reinhart muncul dan memecahkan renungannya.

"Kerja bagus untuk pemula sepertimu," puji Rein pada Daniel sambil memanggul seekor kijang di bahunya.

"Terima kasih," balas Daniel. Ia tidak bisa berhenti memandang aneh pada bawaan Rein.

"Berhentilah membawa hewan buruan ke dalam rumah, Rein," protes Sam.

"Tenanglah, Sam. Aku hanya akan membawanya sampai ke gudang belakang rumah," jawab Reinhart sambil tersenyum. Sam berdecak, dalam hati sudah bisa membayangkan eksperimen macam apa yang akan dilakukan Rein di kamarnya. Sesuatu yang berhubungan dengan hewan...Ia harus menyibukkan diri begitu pulang ke rumah jika tidak ingin mendengar atau mencium apapun dari kamar Rein.

"Oi. Jika kau sudah puas, ayo kembali ke rumah." Samuel mengajukan perintah pada Daniel. Ia segera berdiri tegak lalu berjalan mengikuti Samuel dan Reinhart yang mulai berjalan menjauh.

"Kau belajar dengan cepat, Daniel. Kau akan bisa menyempurnakan gaya berburumu dalam waktu singkat. Aku yakin Sam setuju dengan pendapatku," Rein memuji Daniel sekali lagi. Samuel sendiri sudah berjalan menjauh, kelihatan ingin cepat-cepat pergi kembali ke rumah, menjauh dari Daniel. Pemuda itu tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sangat menyadari betapa jelasnya ketidaksukaan Samuel pada dirinya, dan itu logis. Siapa yang bisa menyukai seseorang yang berniat menculik saudara perempuannya? Daniel mungkin akan melakukan hal yang sama jika situasi mereka terbalik. Hanya Reinhart saja yang kelihatan tidak terlalu ambil pusing.

"Reinhart...aku ingin menanyakan sesuatu."

"Silakan. Ah. Panggil aku Rein, seperti yang lain."

"Baiklah. Rein, kenapa kau tidak membenciku? Padahal, aku sudah...berbuat hal yang buruk pada keluargamu..." Daniel tidak berani membawa soal Aria. Dadanya sakit setiap kali memikirkan tindakannya yang sangat tidak pantas.

"Siapa bilang aku tidak membencimu?" Reinhart tersenyum dengan sangat manis. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Kemampuan yang diperoleh setelah melalui masa hidup yang panjang.

"Jadi, kau membenciku?" Daniel memastikan. Ia semakin bingung dengan sikap eksentrik Reinhart.

"Aku tidak punya kepentingan atau kewajiban untuk mengungkapkan bagaimana perasaanku padamu, Daniel." Jawab Reinhart kalem. "Lagipula, kau tidak perlu terlalu memperhatikan hal yang melelahkan seperti itu. Toh, kau bukan lagi manusia."

Daniel terdiam begitu mendengar jawaban Reinhart. Walaupun itu adalah kebenaran, Daniel masih sulit menerima fakta bahwa ia bukan lagi manusia. Rongga dadanya terasa disayat walaupun tidak lagi berdetak. Ia memandang punggung Rein penuh tanya. Dibalik senyumannya, Reinhart menyimpan rahasia yang begitu besar. Daniel yakin itu. Kedewasaan seperti Reinhart tidak bisa didapatkan hanya dalam 17 atau 30 tahun kehidupan. Ia berharap, suatu saat ia akan mendapatkan kedewasaan seperti pemuda eksentrik itu.

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang