Chapter 1 - Keluarga Everhart

139 8 0
                                    

Rumah itu besar dan lengang, model puri di masa lampau. Semua perabotannya pun terlihat besar dan mewah, memikat mata bagi para kolektor benda-benda antik. Setiap sudut rumah dihiasi pot tanaman hijau, dan bunga-bunga cantik menghiasi tiap meja yang ada. Lantai keramik yang bergambar malaikat-malaikat kecil bersayap angsa kelihatan berkilau dan licin. Jendela-jendelanya yang besar ditutupi tirai gelap bermotif bunga mawar. Lebih dari itu, tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Langit di luar masih siang, memperlihatkan birunya langit dan setumpuk kecil gumpalan awan-awan putih. Burung-burung gereja bertengger di dahan pohon besar di halaman rumah. Tidak ada yang lebih memuaskan mereka selain mandi di air mancur besar di tengah rumah mewah itu.

Walaupun besar, rumah itu berwarna muram dan sepi, terletak jauh dari keramaian hiruk pikuk, memiliki halaman yang super besar dan dipenuhi pepohonan rindang. Jalan yang adapun hanya jalan setapak, karena kendaraan roda empat jarang melalui jalanan ini. Pagar besarnya sudah ditutupi tumbuhan jalar, tetapi tetap kokoh membatasi bangunan ini dari dunia luar.

"Kreeek..." Suara pagar kecil terbuka. Sesosok gadis memasuki halaman rumah dengan langkah tenang. Seragam sekolahnya menunjukkan asal sekolahnya dari SMP lokal di kota kecil ini. Rambut ikal hitamnya yang panjang diikat satu ke belakang, dibiarkan berayun seraya langkahnya yang tenang. Kulit putihnya terlihat semakin putih di bawah terpaan sinar matahari. Tas sekolahnya digenggam kedua tangan kurusnya. Di kedua matanya bertengger kacamata hitam berbingkai besar. Kakinya terus berjalan sampai mencapai depan serambi rumah itu.

"Hah!" Ia menghembuskan nafas pendek sekali, lalu membuka pintu rumah dengan kedua tangannya. Besarnya pintu rumah itu selalu membuatnya harus memfokuskan kekuatan lengan kurusnya. Sekarang pun bukan pengecualian. Kalau saja Ia bisa lebih kuat di kemudian hari, seperti semua anggota keluarga di rumah ini yang membukanya dengan satu tangan seakan hanya membuka penutup toples, tetapi Ia belum punya kekuatan itu.

"Selamat datang, Aria! Bagaimana sekolahmu?" Sapaan segera terdengar dari lantai dua rumah itu. Aria menengadah, tetapi terlambat karena sumber suara itu tak lagi disana. Ia sudah berada di depan Aria sambil tersenyum lembut, menanti jawaban.

"Sekolahku berjalan seperti biasa, um...Yin..." Aria tersipu, tidak biasa memanggil seseorang yang lebih tua dari dirinya tanpa embel-embel apapun. Tetapi, kalau pilihannya memanggil nama atau memanggil dengan sebutan 'ibu', Ia tentu memilih pilihan pertama.

Yin memeluk Aria, "Syukurlah!" Kemudian, mengusap kepala Aria dengan lembut. "Kau pasti lelah. Istirahatlah dulu di kamar. Aku akan mempersiapkan kudapan sore untukmu."

"Um. Thanks." Aria tersenyum tipis sebelum berjalan naik ke kamarnya di lantai dua. Ia sudah belajar untuk mengiyakan semua perbuatan baik dari Yin untuknya, karena kalau tidak, Yin yang berhati lembut bisa sangat sedih dan berusaha mengobatinya dengan melakukan hal baik lainnya. Kata kasarnya, Ia tidak akan membiarkan Aria sendiri.

Kamarnya di lantai dua membuatnya harus naik tangga memutar di tengah rumah. Suara kakinya yang tidak selembut langkah kaki anggota rumah yang lain sama saja memberikan tanda-tanda kehadirannya setiap Ia pulang sekolah. Tidak lama lagi, pasti setidaknya ada satu orang yang akan menegurnya.

"...Ugh, kau bau matahari. Mengganggu tidurku saja."

"Hai, Claire. Aku pulang," balas Aria tenang.

"Cklik!" Pintu tertutup.

Aria sudah terbiasa dengan kata-kata kasar Claire setiap Ia pulang sekolah. Gadis cantik dengan rambut pirang dan mata abu-abu itu selalu 'menyambutnya' dengan gaun tidur putih dan rambut acak-acakan, hanya mengeluarkan kata-kata pedas, lalu kembali dalam tidurnya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Claire tidak menyukai Aria. Sebagai timbal balik, Aria acuh saja dengan sikap Claire.

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang