Chapter 21 - Salju dan Misteri

30 5 0
                                    

Neil Oslow memandang nanar pada badai salju di luar kediamannya. Kali ini sudah tentu ia tidak akan bisa keluar dalam suasana badai seperti ini. Hal yang paling membosankan baginya, tentu saja. Neil adalah anak yang aktif dan senang bergerak di alam. Tinggal seharian di rumah adalah mimpi buruk baginya. Itulah sebabnya, kegiatannya hampir selalu menghabiskan waktu di luar. Tidak seperti gadis remaja lima belas tahun lainnya, Neil memilih untuk menghabiskan waktu dengan kegiatan fisik dibandingkan berkumpul dan mengobrol tak tentu arah. Ia tidak pernah merasa nyaman dengan acara-acara yang mengharuskannya duduk dan mendengarkan ceramah orang lain. Jika boleh memilih, Neil akan menghabiskan waktunya di lapangan baseball dibandingkan terjebak badai bersama anggota keluarganya. Saat-saat seperti ini, ia merasa iri dengan saudara-saudaranya yang sudah cukup tua untuk meninggalkan rumah dan sisanya yang memang lebih senang main di kamar seharian dibandingkan keluar.

"Neil, angkat tubuhmu dan bantu ibu membawakan nampan ini ke kamar Kakek Dim." Ibu dari Neil muncul sambil mengangkat nampan berisi kudapan dan cangkir teh. Ibu Neil mirip seperti dirinya, minus jerawat dan tingkat tomboynya.

"Oke, Ma." Gadis itu menurut hanya karena tidak punya kegiatan lain. Di hari lain, ia akan segera kabur begitu ibunya menghampirinya.

"Kakek Dim, aku membawa kudapan," ujar Neil sambil membuka pintu kamar dengan santai. Ia bahkan tidak menunggu jawaban dari Kakek Dim. Pria itu sudah mulai tuli dan Neil memang tidak sesabar itu untuk menunggunya membuka pintu.

"Oh. Terima kasih, Neil." Kakek Dim adalah pria yang sudah sangat tua, usianya mendekati 90 tahun. Urat-urat di wajahnya mengerut saat menunjukkan senyum gigi palsu pada Neil. Walaupun sudah hampir tuli, ingatannya masih sangat kuat dan segar. Maklum, masa mudanya ia habiskan dengan terus melatih otaknya. Kakek Dim adalah sepupu dari Kakek Neil, dan sudah menjadi bagian dari keluarga Neil karena seringnya datang berkunjung ke rumah mereka. Maklum, rumah Neil dulunya adalah peninggalan Keluarga Olson sejak dulu, diturunkan pada keluarga Neil. Kakek Dim yang tidak punya istri maupun anak seringkali menghabiskan waktu di rumah ini, dan keluarga Neil dengan senang hati menerimanya. Kakek dan Nenek Neil sendiri sudah lama wafat.

"Kakek, kau menulis apa?" Ketertarikan Neil meningkat saat Kakek Dim dengan segera menutup bukunya. "Ayolah, aku penasaran!" Rayu Neil. Ia sangat bosan, hingga rasanya ingin menggoda kakek satu ini. Kakek Dim memiliki otak yang brilian, menurut ayah Neil. Hal itu sendiri terbukti dari banyaknya buku dalam berbagai bahasa dan benda-benda unik yang menghiasi kamarnya. Sayang, Kakek Dim tidak pernah membiarkan Neil memainkan apapun miliknya sampai Neil sendiri bosan.

"Bukan hal yang menarik, Neil. Kau akan bosan."

"Coba saja," tantang Neil.

"Hm...Baiklah."

Neil sampai mengangkat kedua alisnya, kaget dengan jawaban Kakek Dim yang dengan mudah menyerahkan buku miliknya itu. Ia belum pernah melakukannya sebelumnya. Dengan tangan bergetar, Neil menerima buku itu di tangannya. Gadis itu bisa tahu betapa lusuh dan seringnya buku itu dibuka dari penampilannya. Rasa penasaran membuatnya melirik hati-hati ke Kakek Dim. Pria itu menatap balik Neil dengan tenang, menunggu.

"Mahluk abadi...peminum darah...? Maksud kakek, Drakula?" Neil bertanya tidak paham. Gadis itu tidak paham bagaimana Kakek Dim yang terkenal dengan kejeniusannya membuat catatan mengenai hal takhayul macam ini. Hal itu membuatnya sedikit kecewa.

"Drakula adalah tokoh fiktif. Mahluk gelap itu adalah fakta," ujar Kakek Dim tenang. Neil menatapnya ragu, berpikir bahwa kakek ini mungkin sudah tidak sewaras kelihatannya. "Otakku masih berpikir jernih, Neil. Jika itu yang kau khawatirkan," ujar Kakek Dim, membuat Neil makin melongok kaget.

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang