Chapter 13 - Daniel Lewis

55 5 0
                                    

Aria menghembuskan nafas. Ia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya pada saudara angkatnya ini. Setelah beribu kali menahan dirinya untuk beradu mulut sepanjang perjanan ke sekolah, Ia tidak lagi bisa menahan.

"Tolong berhentilah, Sam. Aku sudah sangat paham, oke? Tidak ada memandang, bicara, atau apapun dengan orang lain di jam pelajaran seni. Dengar, aku sudah hafal di luar kepala," ujar Aria kesal. Matanya beradu dengan mata hijau Sam yang jelas kaget dengan semprotan Aria.

"Bagus kalau kau mengerti. Kalau saja aku bisa berganti kelas ke tempatmu atau kau pindah ke kelas Bahasa, tidak akan serepot ini." Sam menggelengkan kepala pelan.

"Tenanglah, kakek. Kau mulai lebih mendekati ibu-ibu gosip daripada seorang kakek," ledek Aria sambil berjalan pergi.

Aria hampir memasuki kelas seni setelah menguatkan tekadnya ketika Neil menghampirinya. Mereka tidak pernah masuk ke kelas yang sama, tetapi selalu bertegur sapa saat bertemu di lorong sekolah. Kali ini, Neil memakai kaus biru muda yang kelihatan kebesaran, celana jins, dan menggunakan topi snapback hitam. Rambut sebahunya diikat ke belakang dengan rapi.

"Pagi, Aria. Kau mengambil kelas seni?"

"Selamat pagi, Neil...Kau benar." Aria membalas dengan senyum kecil.

"Oh, kalau saja aku mengambil kelas yang sama denganmu! Kudengar guru seni sangat santai dan tugas-tugasnya tidak serepot itu."

"Oh, ya? Kau tahu darimana?" Bahkan Aria tidak memperhatikan hal tersebut.

"Aku tahu dari temanku di kelas itu juga...Nah, itu dia." Neil mendadak melambaikan tangan ke arah belakang Aria. "Hei, Dan."

Aroma yang sudah sangat dikenal Aria mulai tercium olehnya. Ia tidak ingin membalikkan tubuhnya, karena sudah tahu apa yang akan dihadapainya. Neil kelihatannya tidak menyadari perubahan perilaku Aria yang langsung mencari-cari alasan.

"Neil! A-aku perlu ke kamar kecil sebelum kelas dimulai. Sampai bertemu lagi?"

"Tiba-tiba sekali? Ayo, cepat sana!" Neil mendorongnya pergi.

Aria berjalan cepat meninggalkan Neil, memusatkan perhatiannya dari segala hal yang lain kecuali aroma yang ditinggalkannya. Sayup-sayup Ia bisa mendengar percakapan Neil jauh di belakangnya.

"Oi, Neil. Kau kenal anak itu?"

"Dia teman baruku. Kenapa?'

"Oh..."

Aria tidak mendengarkan lagi. Ia menutup pendengarannya, berusaha menjauh sejauh yang Ia bisa. Nafasnya mulai tidak beraturan, dan rasanya begitu kesal, karena sudah sekian lama Ia gunakan untuk menenangkan diri, dan sekarang dengan mudah semuanya buyar. Aria menemukan pojokan di depan ruang biologi yang sepi, berjongkok dan berusaha menenangkan dirinya lagi sampai bel pelajaran pertama berbunyi.

Kelas sudah dimulai begitu Ia masuk kelas. Aria dengan mudah memasuki kelas dan hanya menyapa guru seni yang kelihatannya tidak terlalu peduli dengan siswa yang terlambat masuk kelas. Ia sedang sibuk memeriksa hasil lukisan dari siswa-siswanya saat Aria berjalan menuju tempat duduknya. Aria menghirup nafas dalam, menghembuskannya pelan, seraya mengingat nasihat Samuel di kepalanya, 'Tidak ada memandang, bicara, atau apapun dengan orang lain di jam pelajaran seni'. Ia menguatkan hatinya, lalu menghadapi kanvas putih di hadapannya.

"Seharusnya kau menggambar manusia..."

"Eh?" Aria menengadah, lalu tertegun.

"Um, aku melihatmu masuk kelas terlambat tadi. Jadi, kupikir kau tidak tahu tema hari ini. Pak Mario meminta kita menggambar manusia." Pemuda berambut coklat itu kelihatan berhati-hati saat berbicara, tetapi mata coklatnya kelihatan fokus pada Aria.

Aria: EverhartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang