Bab 20

10.6K 600 19
                                    

Dan di sinilah aku duduk berdua dengan Dharma, menikmati kopi dan gerimis sore Ibu Kota Negaraku tercinta ini. " So, Harry bilang apa aja?" menatap orang di depanku ini. Seandainya kamu datang duluan sebelum Harry, dan seandainya Harry nggak muncul lagi di kehidupanku.

" Semuanya, yang perlu aku tau"

Aku mengangguk. Diam. Menghirup aroma coffee latte-ku perlahan. Mengumpulkan keberanian untuk apa yang akan Dharma sampaikan selanjutnya.

"Trus?".

" Yah, karena semua hanya pura-pura, but i know mata nggak bisa bohong kan?" Dharma menatapku intens dengan mata hitamnya, yang aku yakin seandainya Harry nggak memiliki tatapan yang jauh memikat dari ini, aku pasti akan lumer sekarang di hadapan Dharma.

" Maksudnya? Bisa nggak sih to the point aja, aku lagi males di ajak tebak-tebakan"

He's laugh. Dharma tertawa dengan suara beratnya sampai membuatku bingung melihat diriku dan sekitarku.

" Apa yang lucu sih?"

" Kamu"

Aku mengernyitkan dahiku, menatapnya bingung. Sudah lama banget aku nggak melihat sorot wajah geli dan sayang di mata Dharma. Apa tadi, sayang? Oh, C'mon!!

" Nggak ada acara kan malam ini? Ikut aku yuk".

" Kamu belum jadi ngomong apa aja yang di kasih tau Harry ke kamu, Dharma"

Dia tersenyum. Berdiri dari kursinya berjalan ke arahku dan menggamit tanganku. " Please".

" Ini namanya pemaksaan" sungutku pura-pura ngambek dan akhirnya mengikuti langkahnya menuju mobilnya.

****

Mobil Dharma memasuki kawasan perumahan elite yang akhir-akhir ini pemasarannya gencar di lakukan di media-media televisi dengan host yang terkenal memandu acara gossip di salah satu televisi swasta itu. Aku masih terdiam sampai dia memberhentikan mobilnya di salah satu rumah bergaya klasik minimalis, bercat putih dan coklat.

" Kamu ikutan bisnis property sekarang?" tanyaku tanpa mengalihkan perhatianku dari rumah yang sejak tadi sudah mencuri perhatianku ini.

Yang di tanya malah diam saja dan tersenyum. " Turun yuk" ajaknya.

Dia berjalan mendahuluiku dan mengeluarkan kunci yang mirip seperti kunci rumah dari saku celananya.

" Welcome to our home, sayang"

Deg!!

Jantungku rasanya ingin keluar saat itu juga. Aku terdiam, melihatnya tersenyum. " Maksudnya?" tanyaku mulai takut untuk menebak-nebak.

" Nggak bisa ya kamu masuk dulu, jangan berdiri kaya patung gitu ah" candanya sambil menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah yang mmbuatku tertegun.

" Ini apa... Dharma?"

Dharma terdiam sebentar. Menarik nafas panjang. " Will you marry me, sayang?" tanyanya yang kali ini nyaris saja membuat jantungku berhenti berdetak.

" A..apa?"

" Will you marry me?" ulangnya lagi yang semakin membuatku bingung nggak karuan.

" Dharma Megantara, please before you proposed me, tolong jelasin dulu apa semua ini?"

" Ok, I'm sorry, rumah ini adalah salah satu hadiah pernikahan untuk kita, bahkan pemberinya sendiri menyarankan kalau aku harus ngelamar kamu di sini, biar bisa di ingat terus katanya"

" Hadiah?! Siapa yang royal banget ngasih kita rumah dan seisinya begini? Mesti bukan orang biasa-biasa aja kan, kayaknya aku harus ngomong terima kasih langsung ke orangnya".

" Kamu bisa ngomong langsung nanti"

" Sebutin nama orangnya aja nggak boleh ya?"

Dia tersenyum lagi. Lagi-lagi senyum yang bakal bikin cewek klepek-klepek. Jenis senyum yang nggak bakal bisa di lupain gitu aja. Mendekat ke arahku.

" Harry..."

" Apa? Harry.....siapa?" tanyaku berdoa berharap semoga bukan orang yang sedang ku enyahkan mati-matian dari pikiranku.

" Harry Abraham". Dharma menatapku hati-hati. " Aku tahu kamu lagi ada masalah sama dia, yeah, mungkin ini bukan timing ya g tepat buat ngomong ke kamu, buat ngajakin kamu nikah di rumah pemberiannya.... Maafin aku sayang, mungkin ak...."

" Ya, aku mau nikah sama kamu, Dharma" jawabku memotong perkataanya. Entahlah apa yang merasukiku sehingga aku akhirnya menjawab 'iya'.

Dharma melongo di depanku. Masih mematung. " Are you sure?" . Perlahan dia mendekat ke arahku, memelukku dan menciumku di kening lalu turun di hidung dan bibirku. Aku masih bergeming antara sadar dan tidak. Lalu akhirnya kecupan halus bibir Dharma di atas bibirku mengoyak kesadaranku. Aku membalas pelukannya dan mencium balik bibir Dharma. " Thanks".

Sebenarnya yang ingin aku lakukan saat ini adalah menemui Harry dan menampar wajahnya keras-keras. Apa maksudnya memberiku dan Dharma hadiah pernikahan berupa rumah yang aku tahu harganya sangat mahal. Hatiku sangat terluka, sebahagia itu kah dia menyuruhku segera menikah dengan temannya?

" Ren, are you okay?"

Dan aku lupa masih ada Dharma di sini.

" I'm okay, sorry aku terlalu kaget dengan semua ini" jawabku tersenyum menenangkan laki-laki yang baru saja melamarku ini.

" So, aku serahin semuanya ke kamu, kita ngomong dulu ke orang tua untuk penentuan tanggal dan hari, you know orang tuaku masih memercayai hal-hal yang seperti itu"

" Ya, kita serahin masalah ini ke orangtua aja" jawabku masih linglung.

" Besok aku temenin nyari wedding organizer biar kamu nggak capek ngurus semuanya sendiri, tapi untuk semua pilihan aku ikut kamu aja yang"

Aku mengangguk.

" Kita ketemu sama tetua besok malem aja gimana?".

" Lebih cepat lebih baik ma, terserah kamu aja, untuk urusan orang tua aku manut"

Dia mengangguk. Lalu memelukku sekali lagi. " Thanks sayang, udah bikin aku bahagia hari ini".

Aku tersenyum di balik bahunya. Ya Tuhan aku tahu laki-laki ini akan menjadi suami yang hebat nanti, tapi kenapa aneh rasanya, aneh kenapa aku merasa aku berada di pelukan orang yang salah.

****

Lalalayeyeyye...how? How? Ditunggu banget komen sama votenya yaa.. Ayoo ayoo.. Hihi. See you di next bab yaa gaes.. :)


Forever You Mr. ArrogantWhere stories live. Discover now