[3] Dia Itu

6.9K 290 6
                                    

HARI kedua nggak ada bedanya sama hari pertama. Basi, basi, dan basi. Bosan, bosan, dan bosan. Bt, bt, dan bt. Yaampun, aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati sembilan sampai sepuluh bulan kedepan nantinya. Belum lagi UN. Please deh, sepertinya di Singapore sana aku masih bisa angkat angkat kaki sambil baca manga.

Aku melirik-sekali lagi-jam di pergelangan tanganku yang jarumnya bergerak slow motion. Menguap. Membolak balik lembaran buku Biologi walalupun tidak benar benar membacanya. Yakkkk.. membosankan sekali kelas ini.

Tadi pagi memang aku sudah bertemu Livia dan mengobrol panjang lebar seperti biasa. Tapi semua itu cuma bertahan sampai bel dan setelah itu kami bak menuju jalan masing masing. Livia anak IPS.. aku anak IPA. Dan selanjutnya aku kembali 'jomblo'. Mana jam kosong lagi, ah, kemana sih perginya guru Biologi itu? Kenapa disaat pelajaran pelajaran yang aku sedikit sedikit bisa malah gurunya nggak ada sementara guru matematika malah rajin sekali?!

Brak bruk brak

Aku tersentak kaget ketika sesuatu, lebih tepatnya seseorang, jatuh tepat di samping kursiku dengan bunyi begitu keras. Gelak tawa seantero kelas langsung pecah seketika. Ah, aku tahu ini. Kebiasaan tertawa dia atas penderitaan orang lain.

Aku mau tidak mau menoleh ke arah cowok yang baru terjatuh itu. Aku tidak tahu apa yang baru saja aku lakukan. Tapi tanganku tiba tiba saja terulur ke arahnya. Bermaksud memberikan bantuan untuk bangun.

Cowok yang baru jatuh itu menoleh. Dan dengan segera aku merasa menyesali apa yang baru saja aku lakukan. GILA! DIA ITU COWOK YANG KEMARIN! YANG BILANG "TERUS APA URUSANNYA SAMA GUE? ITU KAN URUSAN LO?!"

Aku tertegun ketika cowok itu tiba tiba bangkit sambil menatap ku dengan tatapan apa-lo-liat-liat. Dan segera mendengus kesal. Sukurin lo jatoh! Emang enak! Ucapku melalui tatapan pada cowok itu. Boro boro berterimakasih karena udah, setidaknya menawarkan bantuan. Apa? Dia malah bangkit berdiri dan kembali berjalan ke mejanya tanpa sedikitpun mengacuhkan tanganku. Sialan!

"Udah Mel, diemin aja. Si Elsa mah emang begitu"

Aku mengerjap dan mengalihkan perhatian dari cowok itu ke orang yang duduk tepat di depanku ini. Namanya Aira, BTW kami baru berkenalan tadi pagi.

"Jadi namanya Elsa?" tanyaku dengan nada sinis.

Aira mengangkat sebelah alisnya lalu tertawa terbahak bahak. Ini lagi satu orang, apa yang lucu coba tiba tiba ngakak?

Gadis itu memegangi perutnya dan mengibaskan tangan.

"Bukan. Maksud gue, dia itu dingin. Elsa tau kan? Frozen?"

Mulutku membentuk huruf O lalu kepalaku mengangguk ngangguk. Tiba tiba aku merasa geli sendiri. Bagaimana kemarin aku menilainya sebagai cowok ganteng, baik, pintar, pemberani, dan perhatian?

"Eh, tapi ati ati aja loh Mel. Dia itu kadang kadang bisa mematikan. Lo tau? Waktu awal awal masuk SMA pernah ada cewek yang nyamperin dia sambil ngasih coklat. Dan lo tau tuh cowok ngapain?"

Aku menatap Aira dengan alis terangkat lalu menggeleng cepat.

"Dia ambil tuh coklat, terus dia lempar ke tong sampah! Kurang sadis apa coba tuh anak?! Dih.. salut gue kalau sampe ada yang mau jadi ceweknya"

Aku mendelik ke arah Aira lalu beralih melirik cowok itu yang sekarang berdiri di ambang pintu menghadap ke luar. Ah, sampai kapan aku akan terus memanggilnya dengan 'cowok itu'?

"Oh iya mel, FYI nih ya, cewek yang ngasih si Elsa coklat itu seminggu kemudian langsung pindah ke sekolah seberang. Lo tau kan, sekolah internasional itu... gue rasa kepindahan tuh cewek ada hubungannya sama 'penolakan' Regen" Lanjut Aira, mengisyaratkan tanda kutip saat mengucapkan kata penolakan.

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang