"And you can't see me waiting you the way you want her, but you're everything to me" -Invisible, Taylor Swift
***
SISA hariku di SMA High Light terasa bergulir begitu cepat bagai bola salju yang digelindingkan dari atas bukit. Ya, Here, we are, student in 12 grade, ready to final examination! Prok prok prookk!
Tapi gaes, sumpah sebenernya aku nervous banget. Hari ini, pelajaran pertama langsung Matematiika-B.Indo, dan... oh, kalau ada yang bilang proses tidak akan menghianati hasil, aku berharap hasil belajarku berbulan-bulan tidak akan menghianati hasilnya nanti. Doakan aku masuk UPI yaw! Aku mau jadi guru Biologi!
Jangan kaget. Guru itu memang sudah jadi cita-citaku dari kecil. Dan berhubung dari empat pelajaran MIPA aku cuma jago di Biologi, cocokkin deh. Guru-Biologi. It's heard cool, right?
Krrrrriiiiinggggg
"Okey student, silahkan buka soalnya"
***
"Kalian nggak suka ya,sama tante Reni?"
Regen mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ya, kemana pun asal jangan ke orang yang sedang berbicara di depannya ini. Yang membicarakan hal-hal yang menurutnya tidak lebih penting daripada belajar untuk UN.
Dan ya, papanya kembali membicarakan perempuan itu.
"Bukan gitu pa, bukannya kita nggak suka sama tante Reni. Cuman..." Bian menggantungkan kalimatnya. Kepalanya tertoleh, menatap kakak sematawayangnya yang sejak tadi hanya diam dan menunjukkan ekspresi acuh tak acuh.
Regen masih seperti dulu, ucap Bian dalam hati.
"Kita cuma belum siap ada yang gantiin posisi mama, pa," Kata Bian, lagi-lagi menjadi juru bicara mereka.
Raka menghembuskan nafasnya kasar sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Biar bagaimana pun, kejadian itu sudah lumayan lama dan dia-sebagai laki-laki-tentu saja tetap membutuhkan pendamping hidup.
Hening, seperti biasa, rumah itu hanya diisi oleh keheningan. Hanya suara pelayan-pelayan yang sibuk mondar-mandir. Selebihnya, hanya hembusan nafas penghuninya yang terdengar.
Regen tiba-tiba bangkit dari sofa dan melenggang menuju kamarnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Ia tidak mau membuang-buang waktunya percuma hanya dengan berdiam diri seperti ini. Lebih baik ia belajar Fisika untuk besok.
***
Tiga hari UN cukup menarik konsentrasiku dari segala hal termasuk semua tentang Regen. Aku juga tidak tahu kenapa aku merasa wajib memikirkannya. Padahal jelas aku sudah menyerah dan tidak mau peduli lagi dengan semua tentang Regen dan kak Embun.
Jatuh cinta itu capek. Tapi sayangnya nggak gampang buat berhenti.
"Jadi, kita mau kemana nih. GI, atau kemana?" Aira berseru heboh sambil meletakkan gelas plastik berisi jus manga favoritnya. Well, ini adalah hari terakhir UN dimana semua anak sudah punya janji merayakan 'kebebasan' dengan genk nya masing-masing. Termasuk aku. Bersama Aira, Livia, dan anggota lama yang tak pernah diduga akan kembali juga. Selda.
Kami berkumpul di kantin. Membicarakan mau-kemana-kita merayakan selesainya UN dan terebebasnya kita dari kekangan pelajaran.
Padahalkan masih ada SBMPTN yang lebih sadis dari ini, yah, salahkan saja kami yang keburu seneng bebas dari UN.
"Gue mau ke rumah aja, mau mimpiin Cameron Dallas" Celetukku, dibalas dengan sorakan dan jitakan dari semuanya.
"Mimpiin Cameron atau yang itu..." Selda menaik turunkan alisnya, melirik seseorang yang sedang anteng dengan ponsel dan earphone terpasang di telinganya. "Jangan heran Dy, gue tau segala hal" lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hujan
Teen FictionAku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberadaanku di sini. Hello... Regen I'm here!! 31/1/16 - Aku Dan Hujan - Copyright 2016 by Shinyrainy