"I'm not sure you know
That the reason I love you is you..."
- I Love You, Avril Lavigne***
TOKO buku itu ramai. Pelajar, pekerja kantoran, anak kecil, sampai lansia sekalipun, semuanya sibuk menatap buku yang berjejer rapi di rak-rak besarnya.
Begitupula Regen. Sore ini, sepulang sekolah, dia menyempatkan diri untuk berkunjung ke toko buku yang baru beberapa minggu dibuka ini. Sebenarnya bukan disengaja juga dia berkunjung ke sini. Regen hanya mencari tempat untuk mengulur waktu.
Mengulur waktu sampai ke rumah.
Entah sampai kapan ia akan terus begini. Menghindar dari keadaan. Dari segalanya. Entah apakah ia bisa memaafkan laki-laki itu atas semua yang telah diperbuatnya pada mamanya. Dan, ya, laki-laki itu. Karena bagi Regen, papanya sudah mati sejak dia dan mamanya keluar dari rumah karena diusir. Orang itu tak lebih dari sekedar pembunuh. Dan Regen jelas bukan anak dari seorang pembunuh.
Well, bukannya papanya juga tak pernah menganggapnya sebagai anak?
Lalu, kenapa dia masih bertahan di rumah mewah itu?
Rumah yang bukan rumahnya. Rumah yang hanya diisi oleh keheningan. Rumah yang seperti neraka. Ia rasa ia tak akan pernah mau menginjak rumah itu barang sesentipun kalau bukan karena surat dari mamanya sebelum dia meninggal. Surat yang mengurai benang kusut yang selama ini sulit terurai. Tak terdefinisi.
Regen mengerjap ketika sadar dia sudah kembali bernarasi tentang keluarganya. Sial. Kenapa akhir-akhir ini perasaanya begitu sering terbawa?! Jangan sampai seperti kejadian jumat kemarin. Bersama gadis aneh itu. lupakan! Regen akan mencatatnya sebagai kesalahan terbesar yang pernah diperbuatnya dalam hidup.
Toh dia cuma takut anak perempuan itu menganggap Regen menyukainya atau.. yaah, you name it. Lalu ketika Regen kembali menampakkan ekspresi dinginnya lagi, dia akan men cap Regen sebagai Pemberi harapan palsu.Karena sebenarnya, dia sudah berkomitmen untuk tidak akan berpaling dari orang itu.
Tangan Regen sedang menelusuri buku-buku di rak best seller ketika matanya tertancap pada sebuah jurnal. Sepintas, tidak ada yang spesial dari jurnal fashion itu. Tapi bagi Regen, Jurnal itu seperti harta karun yang baru saja ditemukannya. Lantas, dia mengambil jurnal itu dan segera membayarnya ke kasir.
Sekarang, dia tahu kemana dia akan lari.
***
Ting nong,
Perempuan itu sedang asyik menggambar di buku desainnya ketika denting bel rumahnya terdengar nyaring. Embun meletakkan pensilnya, berjalan cepat ke arah pintu sambil menerikkan kata "sebentar" dan menggulung rambutnya ke atas. Mungkin itu pelanggannya yang akan komplain masalah pakaian yang ia buat. Makanya dia sudah siap kalau sebentar lagi dia akan dimarah-marahi atau, yaah.. something like that.
"Selamat so-kamu?"
Embun mengerutkan kening. Bukan, bukan pelanggannya yang sekarang berdiri di depan pintu. Tapi seorang anak laki-laki dengan seragam SMA dan tas punggung masih melekat.
Dia terenyum gugup. Sementara Embun langsung teringat pada kejadian tempo hari saat ia tidak sengaja menumpahkan es krim coklatnya ke jaket milik anak SMA ini.
"Oh, mau ngambil jaket ya? Bentar bentar. Kamu sekarang masuk dulu, duduk.. mau minum apa? jaket kamu ada di mobil" seloroh Embun sambil membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Senyum Regen semakin terangkat. Ragu, dia masuk ke rumah Embun yang nyaman dan segera duduk di sofanya.
"Nggak perlu repot-repot" jawab Regen, kaku, berusaha menampakkan image yang baik. Embun membalasnya degan gelengan. Dia lalu berjalan ke dapur dan membawakan tamunya ini segelas jus stroberi. Untung ia selalu punya persediaan jus di kulkasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hujan
Teen FictionAku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberadaanku di sini. Hello... Regen I'm here!! 31/1/16 - Aku Dan Hujan - Copyright 2016 by Shinyrainy