Agustus, 2016
"Dilla mana Dilla? Liat muka gue kenapa jadi gini aduuhh ya ampun"
Seseorang bernama Melody alias aku, terus mengumpat ini-itu sambil menunjuk-nunjuk mukanya sendiri. Menatap horror pantulan wajahku di cermin lantas mendesah dan mengumpat lagi.
Apa-apaan Dilla mendananiku jadi se-mencolok ini coba? Ah, aku 'kan bukan kelinci percobaan make-upnya dia.
Well, meskipun kakakku itu lebih jago dalam urusan yang satu ini, tetap saja aku lebih percaya hasil kerjaku sendiri.
Seperti kata Mama, aku, Melody, adalah gadis agak tomboy dengan hati melankolis.
Eh? Itu tidak begitu buruk 'kan?
"Apa yang salah lagi sih Dy?" Aira-yang hari ini terlihat begitu menawan dengan dress pinky selutut- melirikku sekilas lalu kembali membolak-balikkan majalah yang ada di tangannya. "Lo tuh, di pakein Lipstick salah, pake bulu mata susah, di bedakin mencak-mencak. Lo mau gue konde, Huh?"
"Muka gue! Aira., Muka gue!! Gue dandan sendiri aja ah"
"Masih baik Dilla mau ngedandanin lo. Emangnya lo mau, dimake up sama om setengah tante yang ngurusin kak Embun? Lo di pe-"
"Berisik lo. Dasar sahabat ngga guna! Kenapa sih, gue harus di pertemukan sama makhluk se absurd dan se nyebelin kayak Airana Karin. Rese!" cibirku kesal. Mencebikkan bibir ke arah Aira yang malah tersenyum mengejek.
Sudah satu tahun semenjak semuanya berlalu. Seperti kata Celine Dion. Life must go on. Tidak banyak yang berubah. Aku masih aku yang dulu. Yang suka coklat, krisan, dan Dora The Explorer. Yang berubah dari semuanya mungkin hanya situasi dan keadaan. Karena setiap detiknya, bumi bergerak lantas waktu melaju. Tidak ada yang tidak akan berubah di dunia ini, juga, hati.
Sudah satu tahun pula semenjak aku lari dari kenyataan. Meninggalkan apa yang waktu itu mungkin terlalu sakit untuk aku hadapi. Tapi toh kenyataanya sekarang aku di sini. Di satu tahun kemudian yang artinya, semua itu sudah aku langkahi jauh di belakang.
"Sttt ssstt, heh kunyuk bangun, ish ngelamun lagi. Mikirin apa sih lo Dy? Ini tuh, hari bahagianya kak Embun, lo juga mestinya bahagia dong" celetuk Aira membuat aku tersadar. Tersentak lebih tepatnya.
Aku lalu menundukkan kepala memandangi kaki telanjangku di atas karpet beludru kamar.
Pada kenyataannya, dalam waktu selama ini pun, seorang Melody Aristya Aeldra masih teringat dengan dia.
Dia yang satu tahun memaksa air mataku untuk tumpah, sekaligus membuatku belajar tentang hidup. Apakah dia akan datang ke sini? Entahlah. Aku tidak begitu yakin Regen akan datang ke pernikahan seseorang yang pernah ia sayangi setengah mati itu. Aku tidak berani menjamin.
Tapi bukankah ada Livia? Mereka sudah bertunangan meskipun dengan embel-embel 'perjodohan karena balas budi'. Tetap saja mereka sudah bertunangan, dan embel-embel itu jadi tidak berarti apa pun.
Aira menutup majalahnya dan menghampiriku ke meja rias. Ia mungkin tahu apa yang membuat aku linglung begini.
"Life is full of surprise. Kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi di hidup kita kedepannya 'kan? Come on lah Dy, lo kan udah punya pangeran super sweet super cute super handsome kayak Regan. Masa lo ngehianatin dia gara-gara mikirin si super ice super annoying super fake kayak Regen sih? Ga terima" cerocos Aira, membuat aku balas terkekeh pelan dengan terpaksa.
Sudah satu tahun juga semenjak Regan Putra Pradipta mendeklarasikan diri sebagai seseorang yang akan selalu ada untukku. Sejak itu juga Regan tak pernah sekali pun ingkar janji. Dia benar-benar berhasil mengisi kekosongan di hatiku, sungguh. Membuat perban untuk menutupi luka-luka yang ada di sana. Meskipun aku tidak pernah meminta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hujan
Teen FictionAku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberadaanku di sini. Hello... Regen I'm here!! 31/1/16 - Aku Dan Hujan - Copyright 2016 by Shinyrainy