Jika bahagia selamanya adalah nyata, aku ingin akhir itu bersama kamu di sisiku. Tapi, jika bahagia selamanya hanya ada dalam dongeng-dongeng pengantar tidur, aku ingin. Hidup dalam dongeng-dongeng itu selalu, bersamamu.
***
Batang coklat ketiga yang ia lahap, tak serta merta membuat matanya kembali hidup seperti biasanya. Jika orang percaya coklat bisa memberi ketenangan, hari ini Melody kehilangan kepercayaan itu.
Hampir coklat keempat tapi sesak di dadanya belum reda juga.
Dering ponsel di tas tangannya juga sejak tadi tak Melody gubris. Pandangannya masih kosong ke depan, napasnya masih belum teratur dan air matanya masih terus mengalir seperti keran yang dibiarkan terbuka.
Melody benar-benar tidak mempercayai hatinya lagi.
Setelah pertemuannya dengan Regen, gadis itu memutuskan pulang dan bersembunyi di sudut depan balkon kamar lamanya bersama semua persediaan coklatnya. Make-upnya acak-acakan. Pun jepitan rambutnya yang sudah tak berbentuk lagi.
Bukankah seharusnya ia percaya Regen? Ini 'kan, yang dia mau? Regen membalas perasaannya saat hatinya belum berubah. Tapi kenapa ia malah lari? Lagi? Meninggalkan Regen seolah dia sudah tak memiliki perasaan apa pun pada cowok itu. Kenapa ia melakukannya sementara yang ada sekarang tinggal rasa sesal?
Suara ketukan pintu kamar Dilla ini membuat Melody mengangkat wajah, buru buru menghapus air matanya dengan tisu dan merapikan air lienernya yang luntur tak beraturan.
Tok. Tok. Tok.
Si pengetuk masih bersikeras. Melody mendesah. Suaranya pasti serak kalau ia berbicara sekarang.
"Ehm, ehm, siapa pun itu, aku hari ini nggak mau diganggu dulu. Please" pinta Melody, tak beranjak dari tempatnya.
Orang di luar menghentikan gerakannya. Membuat Melody mengembuskan napas lega karena tak akan ada yang melihatnya seberantakkan ini.
Gadis itu menatap langit biru yang menggantung, kalut. Kenapa ia terpikir mengharapkan hujan turun?
"Sorry Dy, gue harus masuk"
Tiba-tiba suara itu terdengar. Sangat jelas, membuat Melody tersentak lantas mematung di tempatnya. Suara familiar ini, yang begitu ia rindukan karena setahunan tak ia dengar. Suara yang biasa menyemangatinya, menghiburnya saat ia sedih, mengejeknya, menenangkannya.
Melody mengangkat wajah dan matanya langsung menangkap Livia berdiri dengan t-shirt dan rok floral selutut dan kaca mata hipster melapisi mata beningnya. Dia tersenyum, menghampiri Melody dan duduk disampingnya.
"Gue minta kunci ke Dilla kemarin, karena gue tau lo bakal kesini abis ketemu Regen" Livia menatap menerawang ke depan. "Semuanya udah selesai Dy. Gue udah berhasil bikin Papa gue buka mata tentang semua ini, gue udah putus sama Regen. Dan sekarang kita akan balikin semuanya yang dulu hancur, terutama lo"
Melody melengos pelan. dia tidak tahu apa yang harus ia rasakan dan apa yang harus ia lakukan sekarang. Yang dia tahu, dia tidak pernah membenci Livia maupun Regen karena gadis itu menyayangi keduanya.
Tapi di sisi lain dia tidak bisa memungkiri, kalau ada sebagian darinya marah karena dua orang itu menghilang tanpa penjelasan apa pun. Satu tahun ini, ia benar-benar kehilangan separuh hatinya sekaligus seorang sahabat. Melody hanya butuh penjelasan. Karena dengan begitu, mungkin, akan lebih mudah baginya belajar mengikhlaskan.
"Maaf..." ucap Livia setelah hening yang cukup lama.
Lalu gadis itu memeluknya. Menangis di pundak Melody dan terisak-isak di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hujan
Teen FictionAku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberadaanku di sini. Hello... Regen I'm here!! 31/1/16 - Aku Dan Hujan - Copyright 2016 by Shinyrainy