[19] Penuh Kejutan

3.3K 230 11
                                    

"Everytime I try to fly, I fall
Without my wings, I feel so small
I guess I need you baby" - Everytime, Britney Spears

***

"Movie marathon yuukkk"

SETELAH pernikan kak Tania, bukannya sepi rumahku malah jadi semakin ramai. Oma-opa dari Singapore alias mama-papanya papa. Nenek-kakekku dari Bogor alias mama-papanya mama. Sepupu-sepupuku dari Bogor yang masih piyik-piyik alias kecil-kecil. Dan satu orang yang baru saja meneriakkan kalimat diatas. Viola.

Well, Viola ini bisa dibilang saudara jauh sih. Soalnya kami satu kakek beda nenek. Kakekku aslinya orang Inggris dan nikah sama orang Inggris lagi sampe melahirkan papskinya Viola. Terus entah karena apa, mereka bercerai dan kakekku itu menikah lagi dengan seorang berkebangsaan Singapore alias nenekku. Ribet emang, intinya kami masih sepupu tapi beda nenek.

"Males ah, bosen filmnya itu itu mulu" balasku, dibalas dengan cemberut oleh si empunya usul.

Anyway, Viola ini umurnya sekitar dua satu. Lebih muda dari kak Litha tapi lebih tua dari Dilla. Percaya deh, Viola ini sebenernya dewasa banget walaupun kadang tingkahnya masih kayak anak-anak.

Kayak lo enggak aja Dy.

"Shoping yuuk" itu suara teriakkan Dilla dari arah tangga. Usulan mereka bener-bener basi, masa nggak ada yang inget sama sekali sih ini hari apa?! Ulang tahunnya Maudy Ayunda woy, eh, maksudnya ulang tahunku!!

Suara dering ponselku yang khas menarik aku yang masih asik di bawah selimut. Akhirnnya ada yang mau ngucapin juga, itu pasti Livia deh.

Tanpa mau beranjak, aku meraih HPku yang ada di nakas. Dengan tidak sabar melihat nama siapa yang tertera di Display dan seketika bangun ketika mengetahuinya.

It is not Livia,..

Dari orang yang kemarin menjungkir balikkan perasaanku sampai tidak tahu bagaimana lagi bentuknya.

Regen.

"Halo?"

Viola yang duduk di ranjang Dilla sontak menoleh dan menatapku curiga.

"Mel, yang kemarin itu..."

"Yaudah lah, nggak pen-"

"Gue mau jelasin ke elo"

Aku menatap langit-langit kamarku dengan pandangan kosong. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya sehingga dia merasa perlu menjelaskan. Buat apa juga? Dan nggak ada yang mesti dijelasin juga kan?

"Gue tunggu di kafe Kejora. Gue tunggu sampe lo dateng" katanya, tanpa menunggu balasan dariku langsung menutup sepihak.

Apa yang harus aku lakukan?

Menuruti kata-kata Regen dan berharap hubungan mereka hanya kebohongan belaka?

Atau, memilih diam dan membiarkan waktu yang mengurai semuanya?

Berbagai pertanyaan dalam sekejap memenuhi isi kepalaku. Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai meihat Regen dan bergantung padanya. Tapi yang aku rasakan, sekarang perasaanku sudah sejauh ini.

Semuanya terasa sudah terlanjur. Maka aku memilih option pertama.

***

Regen ternyata serius dan itu seketika membuat jantungku berpacu cepat. Cowok itu memang orang paling meyebalkan sedunia dan isinya. Ini hari ulang tahunku dan dia.. arrght, benar-benar perusak.

Tapi aku nggak mau jadi orang munafik juga karena jujur, oke, aku senang. Aku senang karena dia mau menjelaskan yang artinya dia masih menganggap keberadanku dan menganggap sudut pandangku penting. Well, setidaknya, biarkan aku berpikiran begitu. Biarkan aku bermain dengan angan-anganku sendiri walaupun nantinya harus segera menelan pil pahit karena semuanya semu.

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang