"I walk down the line
With a happy refrain
I'm singin, singing in the rain
In the rain "
- Singin' In The Rain, Jamie Cullum***
REGEN menatap lurus jalan setapak di depannya seraya tersenyum. Entah mengapa ia merasa senang hari ini. Akhiirnya.. setelah sekian lama.. akhirnya ia punya cukup keberanian untuk mendekat ke arah Orang itu. Gila memang. Hatinya bahkan bisa melambung tinggi hanya karena sentuhan kecilnya.
"Duuhh, sorry ya. Saya nggak sengaja"
Ia masih terpaku saat tadi orang itu mengatakan kalimat barusan. Terlalu terpesona, terlalu tercengang, bagaimana akhirnya ia bisa bertatap mata dengan orang yang selama ini hanya bisa dilihantnya dari jauh. Orang yang selama ini hanya tumbuh di angan-angan dan setiap bunga tidurnya.
"Aeemm.. nggak masalah" balasnya ragu.
Orang itu menggigit bibir. Seakan tak mengacuhkan kata-kata Regen, iapun berjalan ke mejanya, mengambil beberapa helai tisu, dan berusaha membersihkan es krim coklat di jaket Regen. Cowok itu lagi-lagi tertegun, kaku, ia tahu berapa tahunpun ia menyiapkan diri untuk bertemu orang ini, hasilnya pasti akan tetap sama. Ia pasti akan langsung berubah seperti robot. Dan Regen benci kenyataan itu.
"Jaket kamu saya bawa aja ya? Biar saya bawa ke laundry nanti." Ucap orang itu. tanpa menunggu jawaban Regen lebih dahulu, Orang itu langsung menarik resleting jaketnya dan melepasnya dari tubuh Regen. Lagi-lagi, cowok itu tak sempat bereaksi. Matanya masih terhipnotis menatap setiap helaian halus rambutnya, wajahnya yang sangat familier, matanya, hidungnya-
"Nama kamu siapa?"
Regen terkesiap. Buru buru memasang senyum super manisnya dan menjawab dengan nada diusahakan seringan mungkin.
"Regen, Regen Aditya Radian"
"Regen?"
Cowok itu kembali ke alam sadar ketika seseorang memanggil namanya dan menyentuh bahunya. Ia menoleh, dan segera menemukan Bian yang juga sedang berjalan menuju rumah. Regen tersenyum masam.
"Darimana aja lo jam segini baru pulang?"
Bian menatap kakaknya sekilas lalu kembali menatap jalan.
"Lo sendiri?"
Regen mendengus. Semenjak Bian memutuskan untuk ikut dengan papanya saat kedua orangtua mereka berpisah, entah kenapa ia merasa tidak lagi bisa bersikap sama terhadap adiknya ini. Bian juga begitu. Kakak beradik yang dulunya selalu bersama, tertawa, saling melindungi, telah berubah menjadi kakak berdik yang saling ketus dan anti senyum sejak kedua orang tua mereka berpisah dan membentang jarak.
Apalagi sejak mama mereka meninggal dan papa mereka pergi entah kemana. Regen dan Bian lebih sering saling tuduh dan selalu dipenuhi prasangka buruk.
"Sejak kapan gue harus lapor sama lo setiap hari? Lagian gue tadi ada kupul mading" jawab Regen.
Bian mendengus. Belum sempat ia membalas perkataan kakaknya, matanya menangkap benda yang sontak membuatnya terbelalak. Sebuah mobil Terios hitam bertengger manis di balik pagar rumahnya. Mobil yang sangat ia kenal.
Regen juga sama terbelalaknya. Baru beberapa detik kemudian, ia sadar dan segera berlari, membuka pagar, dan masuk ke rumahnya tanpa menghiraukan adiknya.
Bian mengikuti kakaknya berlari memasuki rumah. Dan betapa terkejutnya mereka melihat siapa orang yang pertama kali dilihatnya begitu membuka pintu..
***
Plaakk
Regen memejamkan matanya mendengar suara memekakkan itu. Sudah sebulan ini ia selalu mendengarnya. Dan naas dirinya tidak bisa berbuat apa-apa meskipun ia sebenarnya mau. Sayup sayup, ia mendengar suara papanya mengatakan sesuatu pada mamanya, kemudian terdengar suara brak keras yang berasal dari dobrakkan pintu kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hujan
Teen FictionAku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberadaanku di sini. Hello... Regen I'm here!! 31/1/16 - Aku Dan Hujan - Copyright 2016 by Shinyrainy