"While the sun, shines on you I need some love to rain on me. Still I sit , all alone wishing all my feeling was gone" -One Last Cry, Brian Mcknight
***
Awan putih menggantung indah di langit yang biru. Bersih, mentari bersinar terang namun tak menyengat. Desir angin menggoyangkan daun di dahan, menerpa wajah dan memberi rasa nyaman.
Aku duduk di sofa balkon kamar dengan sekaleng wafer coklat dan sebuah katalog dari butik kak Tania di tangan. Ini aneh, beruhubung sebelumnya aku tak pernah mau repot-repot memilih baju dan segala barang-barang yang paling hanya dipakai sekali-kali itu. Dan aku juga tidak tahu kenapa aku harus melakukannya.
Mungkin juga karena nanti malam adalah malam yang spesial.
Siapa sih, anak SMA yang nggak menganggap prom sebagai sesuatu yang istimewa? Satu malam yang paling terkenang di masa-masa SMA. Di mana semua orang yang biasanya hanya kulihat memakai seragam putih abu kucel, berbalut gaun dan jas rapi ala sosialit. Meskipun diakui itu juga malam paling neraka untuk para jones, tapi memangnya prom cuma buat ajang pamer gandengan?
Lagi pula nanti malam palingan aku sama Selda Livia Aira lagi.
"Halo, apa Liv? Ha, Rafi? Oh gitu... oke, iya nggak papa. Bye"
Aku menghela napas setelah memutus sambungan. Livia bakal pergi bareng Rafi si mantan Ketos. Ah, berarti aku cuma sama Aira Selda.
Aku baru akan kembali membalik katalog ketika ponsel yang kuletakkan di meja berdenting menunjukkan notif LINE. Satu pesan dari Aira, ya ampun, jangan bilang..
AH, AIRA! Jadi aku pergi bareng siapa? Sama Selda berasa... lesbi. Ya gimana nggak ngerasa begitu kalau nanti semuanya bareng cowok? Sebelumnya, aku nggak pernah merasa aku jomblo ngenes yang bakal nangis darah liat orang pacaran. Tapi sekarang... yah, aku nggak pernah bermimpi Regen akan mengulurkan tangannya sambil bilang,
Come to prom night with me babe, HA! MIMPI JUGA NGGAK BERANI!
"Pasti bingung nentuin pasangan prom night deh,Dy... Dy, lo tuh cantik. Masa iya nggak ada yang ngajak sih?" Dilla tiba-tiba keluar dari kamar dan duduk di sebelahku. Tangannya membawa sebuah majalah fashion. Lantas membolak-balikkannya tanpa peduli bagaimana reaksiku mendengar perkataan nyelekitnya itu.
Ponsel di meja di depanku tiba-tiba bersenandung lagi. Buru-buru aku mengambilnya, dan mau tahu kali ini siapa?
"Hallo Dy, pasti lagi sibuk buat entar malem ya?"
Dia Bian, aku menghela nafas ragu sambil meletakkan katalog di meja.
"Nggak juga. Lo kan tau dari dulu gue orangnya apa adanya, males banget deh ribet ribet nggak jelas" Cerocosku, Bian tertawa renyah disana.
"Yang apa adanya selalu kelihatan lebih bagus Dy. Trust me. By the way... nanti malem lo pergi... sama siapa?" Tanya Bian, sarat keraguan. Mungkin dia meganggap topik ini sebagai topik paling sensitif. Berhubung dia tahu, satu-satunya yang ingin aku ajak pergi cuma kakaknya.
"Sama lo yuk?" cetusku akhirnya. Maaf Bi, gue tau gue jahat jadiin orang sebaik lo pelampiasan disaat Regen nggak ada. Tapi gue nggak punya pilihan.
Bian diam sejenak. Mungkin dia kaget mendengar perkataanku yang terkesan 'berani' itu.
"Yuk, lagi pula kan gue OSIS. Gue pasti dateng dan kebetulan juga gue nggak ada temen bareng" jawabnya. Sementara aku tersenyum miris.
Temen bareng. Mungkin itu akan terdengar lebih baik jika Regen yang mengatakannya.
"Oke, nanti malem lo yang jemput? Oh, ya, see you tonight!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hujan
Teen FictionAku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberadaanku di sini. Hello... Regen I'm here!! 31/1/16 - Aku Dan Hujan - Copyright 2016 by Shinyrainy